Tunjangan DPR Rp50 Juta: Skandal Terungkap Setelah Satu Tahun Bungkam?

Tunjangan DPR Rp50 Juta Skandal Terungkap Setelah Satu Tahun Bungkam scaled

Geger Tunjangan Rumah Rp 50 Juta DPR: Klarifikasi dan Analisis Politik

Polemik tunjangan rumah anggota DPR baru-baru ini mengguncang publik. Aksi demonstrasi bahkan terjadi imbas pernyataan Wakil Ketua DPR Adies Kadir soal kenaikan tunjangan, yang mencapai lebih dari Rp 50 juta per bulan untuk sewa rumah jabatan. Hal ini memicu reaksi keras masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang sulit.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad kemudian meluruskan informasi tersebut. Ia menjelaskan, angka Rp 50 juta per bulan hanya berlaku selama setahun, Oktober 2024 hingga Oktober 2025. Tunjangan ini diberikan sebagai pengganti fasilitas rumah dinas di Kalibata yang tak lagi tersedia. Dengan demikian, total yang diterima anggota DPR hanya Rp 600 juta selama setahun, atau rata-rata Rp 10 juta per bulan hingga 2029.

“Bahwa tunjangan perumahan itu pada saat anggota DPR dilantik bulan Oktober 2024 itu, anggota DPR sudah tidak mendapatkan fasilitas perumahan di Kalibata. Sehingga dipandang perlu, untuk kemudian memberikan fasilitas rumah berupa dana untuk kontrak rumah,” jelas Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (26/8).

Dasco menegaskan, setelah Oktober 2025, tak ada lagi tunjangan sewa rumah yang dibayarkan. Sementara itu, Ketua DPR Puan Maharani menyatakan DPR terbuka terhadap kritik publik dan memastikan keputusan soal tunjangan telah melalui kajian mendalam serta bisa dievaluasi.

“Dan memang ada kompensasi terkait rumah jabatan kepada anggota DPR karena anggota DPR itu kan juga datang dari daerah-daerah. Cuma itu saja yang ada perubahan, yang lainnya tidak ada perubahan,” ujar Puan.

Terkait kritik soal besaran tunjangan Rp 50 juta yang dianggap terlalu tinggi, Puan menegaskan angka tersebut telah melalui proses kajian menyeluruh.

“Itu sudah dikaji dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kondisi ataupun harga yang ada di Jakarta karena kan kantornya ada di Jakarta,” tuturnya.

Pengamat politik dari Spektrum Politika Institute, Hairunnas, memberikan perspektif berbeda. Menurutnya, tunjangan DPR bukan sekadar fasilitas pribadi, melainkan instrumen kerja politik.

“Tunjangan ini adalah instrumen yang memungkinkan wakil rakyat menjalankan fungsi representasi mereka dengan optimal. Idealnya, dana ini digunakan untuk menjangkau warga di setiap daerah pemilihan (Dapil) serta merumuskan kebijakan yang memiliki dampak nyata,” papar Hairunnas.

Hairunnas menilai, polemik ini muncul karena narasi publik yang berkembang tidak sepenuhnya berdasar fakta. Ia menekankan pentingnya transparansi DPR untuk menunjukkan akuntabilitas. Komunikasi yang seimbang juga krusial agar publik memahami kebijakan ini dan tidak menimbulkan kesalahpahaman.

“Kepekaan terhadap persepsi publik harus selalu menjadi pertimbangan utama, agar kebijakan tidak hanya sah secara hukum dan administratif, tetapi juga selaras dengan rasa keadilan masyarakat,” tutup Hairunnas.

Dapatkan Berita Terupdate dari INDObrita di:
PASANG IKLAN ANDA DISINI