Pakar hukum Teuku Nasrullah memberikan pandangannya mengenai polemik tuduhan ijazah palsu yang dialamatkan kepada Joko Widodo. Ia menyoroti pentingnya pembuktian hukum dalam kasus ini, terutama setelah penetapan tersangka oleh Polda Metro Jaya.
Teuku Nasrullah menjelaskan bahwa ada dua cara untuk membuktikan keaslian atau kepalsuan suatu dokumen menurut hukum. Ia juga menyinggung tentang konsekuensi hukum yang dapat terjadi jika tuduhan tersebut tidak terbukti.
Dua Cara Pembuktian dalam Hukum
Teuku Nasrullah menjelaskan dua metode utama yang digunakan dalam hukum untuk membuktikan keaslian atau kepalsuan dokumen. Ia menekankan pentingnya pembuktian yang jelas dalam kasus ijazah palsu ini.
Pembuktian Melalui Penerbit Ijazah
Salah satu cara krusial untuk memastikan keaslian dokumen adalah dengan melibatkan penerbit ijazah. Teuku Nasrullah menjelaskan bahwa penerbit akan memberikan penjelasan detail mengenai spesifikasi ijazah kepada aparat penegak hukum. Proses ini akan diuji melalui pemikiran ahli dan para ahli dihadirkan untuk memberikan penilaian.
Teuku Nasrullah menyampaikan bahwa pembuktian sangat krusial dalam menentukan arah kasus, termasuk ketika tuduhan dianggap sebagai fitnah.
“Bahkan ada pakar yang berpendapat bahwa baru bisa dihukum ujaran apa fitnah atau pencemaran nama baik kepada si penuduh bahwa baju Pak Karni itu palsu setelah dapat dibuktikan bahwa baju Pak Karni itu adalah asli,” jelasnya.
Isu Kepentingan Umum dalam Kasus Jokowi
Teuku Nasrullah menyinggung Pasal 310 Ayat 4 dan Pasal 27 Undang-Undang ITE, yang menyatakan bahwa tuduhan tidak dianggap pencemaran nama baik jika dilakukan untuk kepentingan umum.
“Nah, kita melihat apakah sebenarnya kasus ijazah palsu Pak Jokowi ini tidak dikaitkan dengan kepentingan pribadi Pak Jokowi, lebih kepada persyaratan yang ditentukan oleh KPU dalam pencalonan sebagai Presiden Republik Indonesia,” terang Teuku.
“Apakah kritisi sebagai syarat presiden itu masuk kategori kepentingan umum atau tidak?” sambungnya.
Menurutnya, hal tersebut adalah bagian untuk kepentingan negara dan kepentingan umum yang tidak terulang lagi jika terbukti palsu.
Pentingnya Menghindari Moral Hazard dalam Penegakan Hukum
Teuku Nasrullah mengingatkan bahwa dalam penegakan hukum, moral hazard harus dihindari. Ia menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam menetapkan pasal-pasal hukum agar tidak terjadi penyalahgunaan.
“Tidak boleh ada moral hazard dalam penegakan hukum. Masukkan aja dulu, nanti nggak terbukti nggak apa-apa, yang penting kita sudah bisa tahan,” sambungnya.
Ia menekankan pentingnya menghindari praktik penahanan yang hanya didasarkan pada asumsi belaka.
“Nanti dihitung-hitung masa penahanan, dipas-paskan dengan masa penghukuman, itu adalah problem moral hazard di dalam penegakan hukum,” lanjut Teuku.
Oleh karena itu, Teuku Nasrullah menyerukan perlunya perlawanan terhadap aparat penegak hukum yang dinilai asal-asalan dalam menetapkan pasal.
“Tidak boleh ada satu orang pun yang membiarkan keadaan itu, itu harus kita lawan,” lanjutnya.
“Kalau kita cinta dengan aparat penegak hukum, kita cinta dengan Polri, kita cinta dengan Kejaksaan, hindari penggunaan pasal-pasal yang sekadar menjadi cantolan dalam penegakan hukum,” tuturnya.
Terakhir, Teuku Nasrullah juga menyinggung tentang pembagian klaster dalam penetapan tersangka. Klaster pertama melibatkan inisial ES, KTR, MRF, RE, dan DHL yang dijerat dengan berbagai pasal KUHP dan Undang-Undang ITE. Sementara itu, klaster kedua melibatkan RS, RHS, dan TT dengan pasal yang serupa.