Kehadiran Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) terkait perdamaian di Gaza, Palestina, menjadi sorotan. Langkah diplomatik ini dinilai penting dan strategis bagi Indonesia di kancah internasional. Direktur Indonesia Political Review (IPR), Iwan Setiawan, menyoroti peran krusial Indonesia dalam upaya penyelesaian konflik panjang antara Israel dan Palestina.
KTT yang digelar di Sharm el-Sheikh, Laut Merah, Mesir, pada Senin (13/10) ini dihadiri oleh lebih dari 20 pemimpin dunia. Kehadiran Prabowo atas undangan khusus Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, menunjukkan pengakuan dunia terhadap kapasitas moral dan politik Indonesia dalam isu-isu kemanusiaan.
Langkah Diplomatik yang Strategis
Iwan Setiawan memandang kehadiran Prabowo sebagai langkah yang sangat strategis. Indonesia tidak hanya hadir sebagai pengamat, tetapi sebagai negara yang diakui memiliki kemampuan untuk berkontribusi nyata dalam penyelesaian konflik.
KTT Tingkat Tinggi dan Peserta
KTT tersebut menjadi ajang penting bagi negara-negara Timur Tengah dan Eropa. Selain Prabowo, hadir pula sejumlah tokoh penting, termasuk Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Undangan Khusus dan Kehadiran Prabowo
Presiden Prabowo menerima undangan khusus dari Presiden Mesir, Abdel Fattah el-Sisi. Menanggapi undangan tersebut, Prabowo segera bertolak ke Kairo pada Minggu malam.
Konsistensi Diplomasi Kemanusiaan
Iwan juga menyoroti konsistensi diplomasi kemanusiaan yang ditunjukkan Prabowo dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini terlihat jelas dalam pidato Prabowo di Sidang Umum PBB ke-80.
Pidato di PBB sebagai Landasan
Pidato Prabowo di PBB menjadi bukti bahwa Indonesia konsisten menyuarakan kepentingan politik dan nilai-nilai kemanusiaan. Iwan menyebutkan bahwa gagasan Prabowo untuk mengirim 20.000 pasukan perdamaian adalah bentuk nyata dari diplomasi berbasis aksi.
“Sejak pidato beliau di PBB, Indonesia tampil sebagai suara moderat yang membawa keseimbangan antara kepentingan politik dan nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan, gagasan Prabowo untuk mengirim 20.000 pasukan perdamaian menjadi bentuk konkret dari diplomasi berbasis aksi, bukan sekadar pernyataan,” tutur Iwan.
Peran Indonesia sebagai Guardian of Peace
Iwan menilai bahwa tawaran pengiriman pasukan perdamaian menandai perubahan signifikan dalam paradigma diplomasi Indonesia. Indonesia kini memposisikan diri sebagai penjaga perdamaian dunia.
Paradigma Baru Diplomasi
Langkah ini menunjukkan perubahan dalam diplomasi Indonesia, yang kini lebih berani dan berorientasi pada tindakan nyata.
“Langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang memposisikan diri sebagai guardian of peace di dunia. Tawaran pasukan perdamaian bukan hanya simbol solidaritas, tetapi komitmen nyata menjaga keamanan pascakonflik,” jelasnya.
Model Rekonstruksi Pascabencana
Pengalaman Indonesia dalam rekonstruksi pascabencana, seperti di Aceh dan Nias, dapat menjadi model untuk membantu pembangunan kembali Gaza.
Iwan menambahkan bahwa pengalaman Indonesia dalam rekonstruksi pascabencana seperti di Aceh dan Nias dapat menjadi model untuk membantu pembangunan kembali Gaza secara manusiawi dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Kehadiran Presiden Prabowo di KTT tersebut menegaskan bahwa diplomasi Indonesia kini tidak hanya berwacana, tetapi juga bekerja untuk mewujudkan perdamaian dunia. Diplomasi Indonesia yang baru, menurut Iwan, tenang, berdaulat, dan berorientasi pada hasil nyata.
“Kehadiran Presiden Prabowo di KTT ini membuktikan bahwa diplomasi Indonesia kini tidak hanya berbicara, tetapi bekerja. Inilah wajah baru diplomasi Indonesia, yaitu tenang, berdaulat, dan berorientasi pada hasil nyata bagi perdamaian dunia,” pungkas Iwan.