Kuasa Hukum: SK Wali Kota Semarang Bobol Aturan, Ada Apa dengan PDAM?

Kuasa Hukum SK Wali Kota Semarang Bobol Aturan Ada Apa dengan PDAM

Polemik pemberhentian Direksi PDAM Tirta Moedal Kota Semarang semakin memanas. Melalui kuasa hukumnya, Muhtar Hadi Wibowo, pihak Direksi resmi mengajukan keberatan terhadap Surat Keputusan (SK) Wali Kota Semarang yang dinilai cacat hukum. Langkah ini diambil sebagai respons atas keputusan pemberhentian yang dianggap melanggar aturan dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Keberatan ini menjadi sorotan publik karena melibatkan dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan etika pemerintahan. Kuasa hukum Direksi, Muhtar Hadi Wibowo, menilai keputusan Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng, tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kondisi ini memicu pertanyaan tentang dasar hukum pemberhentian dan dampaknya terhadap tata kelola PDAM Tirta Moedal.

Pemberhentian Direksi Dinilai Melanggar Hukum

Muhtar Hadi Wibowo menyatakan bahwa pemberhentian dua Direksi PDAM tersebut merupakan tindakan melawan hukum (PMH) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Ia menjelaskan bahwa masa jabatan Direksi seharusnya berlangsung hingga tahun 2029, namun tiba-tiba diputus tanpa dasar hukum yang kuat.

Cacat Hukum dan Pelanggaran Prosedur

Muhtar menegaskan bahwa SK pemberhentian tersebut cacat hukum karena tidak melalui prosedur yang benar. Ia menyoroti beberapa poin penting:

  • Tidak adanya surat teguran atau peringatan dari Dewan Pengawas maupun Pemerintah Kota.
  • Tidak adanya evaluasi kinerja yang menunjukkan pelanggaran.
  • Keputusan pemberhentian yang dinilai mendadak dan tidak sesuai mekanisme.
  • Muhtar menekankan bahwa kliennya tidak pernah menerima surat teguran, peringatan, atau evaluasi kinerja yang menunjukkan adanya pelanggaran.

    Sanggahan Terhadap Dasar Pemberhentian

    Muhtar juga mempertanyakan dasar pemberhentian yang dinilai sewenang-wenang. Ia menyebutkan bahwa hasil evaluasi kinerja Direksi dari lembaga seperti BPKP dan BPPSPAM menunjukkan kondisi PDAM dalam kategori “baik” dan “sehat”. Ia juga menegaskan bahwa kliennya masih memenuhi semua aspek dari tujuh indikator kinerja yang diatur dalam Pasal 65 ayat (2) PP Nomor 54 Tahun 2017.

    Pelanggaran Etika dan Moral Administrasi

    Selain aspek hukum, Muhtar juga menyoroti pelanggaran etika yang dilakukan oleh Wali Kota Semarang. Ia menganggap keputusan tersebut tidak mencerminkan semangat Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, yang seharusnya menjunjung nilai kemanusiaan dan etika jabatan.

    Penilaian Terhadap Keputusan Wali Kota

    Muhtar menilai keputusan Wali Kota Semarang telah melanggar Etika Kehidupan Berbangsa sebagaimana tertuang dalam TAP MPR No. VI/MPR/2001, karena dinilai tidak menghormati harkat dan martabat sesama. Ia menganggap Wali Kota telah bertindak tidak patut dan tidak adil dalam memperlakukan kliennya.

    Respons Terhadap Penunjukan Plt Direksi

    Muhtar juga mengkritik penunjukan Pelaksana Tugas (Plt) Direksi yang dilakukan saat proses keberatan masih berlangsung. Ia menilai hal ini sebagai bentuk pembangkangan hukum.

    “Kalau sudah ada Plt padahal keberatan belum selesai, apa itu bukan pelanggaran serius terhadap hukum administrasi?”

    Harapan dan Upaya Penyelesaian

    Sebagai penutup, Muhtar menyebut proses pemberhentian itu berlangsung secara tidak patut dan tidak beradab, karena dilakukan secara mendadak tanpa pemberitahuan yang layak.

    Muhtar berharap Wali Kota Agustina Wilujeng dapat segera menyadari kekeliruan dan mencabut SK pemberhentian tersebut.

    Berikut adalah pernyataan langsung dari Muhtar Hadi Wibowo:

    “Kami menyampaikan surat keberatan kepada Ibu Wali Kota terhadap obyek keberatan. Wali Kota jangan adigang adigung,”

    “SK Direksi itu berlaku hingga tahun 2029, tapi baru satu tahun menjabat sudah *dicut*. Padahal kinerjanya baik, ikut seleksi terbuka lewat UNDIP, hasilnya juga bagus, tapi kini justru diberhentikan. Ini tindakan yang tidak manusiawi,”

    “Faktanya, klien kami tidak pernah menerima surat teguran, tidak pernah diperingatkan, dan tidak ada evaluasi kinerja yang menunjukkan pelanggaran. Tapi tiba-tiba terbit SK pemberhentian. Ini jelas melanggar asas keadilan dan kepastian hukum,”

    “Ibu Wali Kota baru menjabat beberapa bulan, sayang sekali jika awal pemerintahannya tercoreng keputusan yang tidak sahih. Kami berkeyakinan beliau mendapat informasi yang tidak valid,”

    “Apa dasar pemberhentian ini kalau bukan tindakan sewenang-wenang? Jika diukur dari tujuh indikator kinerja yang diatur Pasal 65 ayat (2) PP Nomor 54 Tahun 2017, klien kami masih memenuhi semua aspek,”

    “Ibu Wali Kota telah bertindak tidak patut dan tidak adil dalam memperlakukan klien kami. Ini pelanggaran etika sekaligus moral administrasi,”

    “SK pemberhentian ini kami tolak. Kami belum menerima fisik SK tersebut. Semua pihak wajib menghormati proses hukum yang sedang berjalan,”

    “Kalau sudah ada Plt padahal keberatan belum selesai, apa itu bukan pelanggaran serius terhadap hukum administrasi?”

    “Pemberitahuan SK hanya dikirim lewat WhatsApp satu jam sebelum penyerahan resmi. Ini cacat moral, cacat hukum, dan mencederai etika pemerintahan,”

    “Semoga Ibu Wali Kota berkenan memperbaiki kekhilafan ini. Kami ingin menyelesaikan ini secara bermartabat dan sesuai hukum,”

    Dapatkan Berita Terupdate dari INDObrita di:
    PASANG IKLAN ANDA DISINI