Generasi muda, yang kini sering disebut sebagai Gen Z, telah menjadi kekuatan penggerak di balik gelombang demonstrasi yang mengguncang berbagai negara. Dari Nepal hingga Peru, suara-suara mereka yang lantang menuntut perubahan menggema di jalanan, menyuarakan ketidakpuasan terhadap korupsi, kebijakan yang dianggap menindas, dan berbagai permasalahan lainnya. Aksi ini menandai babak baru dalam sejarah gerakan sosial, di mana media sosial menjadi senjata utama dalam mengorganisir dan menyebarkan aspirasi mereka.
Linimasa media sosial pada 22 September 2025 menjadi saksi bisu bagaimana Gen Z turun ke jalan, menyuarakan aspirasi mereka. Mereka memanfaatkan platform digital untuk menyatukan ribuan orang, mempercepat penyebaran informasi, dan membangun solidaritas. Cara unik yang dilakukan Gen Z ini, menjadikan media sosial sebagai alat mobilisasi yang efektif, mampu menggerakkan massa dalam hitungan jam.
**Peru: Dari Media Sosial ke Jalanan**
Di Peru, gelombang protes Gen Z mencapai puncaknya pada Minggu, 21 September 2025, di Kota Lima. Ratusan warga, didominasi generasi muda, turun ke jalan sebagai bentuk penolakan terhadap korupsi, kejahatan geng, dan aturan baru terkait dana pensiun. Aksi yang awalnya dimulai dari seruan digital, berubah menjadi ricuh setelah polisi menggunakan gas air mata. Akibatnya, 18 orang terluka, sementara jumlah penangkapan belum diumumkan.
Jonatan Esquen, seorang pelajar berusia 18 tahun, menggambarkan gerakan ini sebagai kebangkitan anak muda.
“Karena orang-orang akhirnya menyadari kamu muda aktif di media sosial dan arena politik,” ujar Esquen kepada AFP.
Gelombang kekecewaan terhadap sistem politik Peru juga sangat terasa di antara para demonstran. Xiomi Aguilar, seorang warga Peru, secara terang-terangan menyebut partai politik sebagai mafia.
“Saya sangat marah, saya merasa benar-benar disesatkan oleh pemerintah ini. Dan Kongres ini yang melayani partai-partai politik,” ujar Xiomi.
Demonstrasi serupa terjadi sehari sebelumnya di dekat kantor presiden dan parlemen, namun berhasil dipukul mundur oleh aparat setempat.
**Jurnalis Menjadi Korban**
Kericuhan di Peru juga berdampak pada jurnalis yang tengah meliput aksi demonstrasi. Cesar Zamalloa, seorang fotografer dari media lokal “Hildebrandt En Sus Trece”, menjadi salah satu korban.
“Saat itulah saya merasakan benturan di kaki dan pinggul saya,” ungkap Cesar.
Asosiasi Jurnalis Nasional Peru (ANP) melaporkan bahwa setidaknya enam jurnalis mengalami luka saat meliput demonstrasi di Kota Lima.
**Filipina: Gelombang Protes di Manila**
Pola aksi demonstrasi serupa juga terlihat di Filipina. Pada Minggu, 21 September 2025, ribuan Gen Z memadati Taman Rizal di Manila dan Kuil EDSA di Kota Quezon. Mereka menyuarakan penolakan terhadap skandal korupsi proyek pengendalian banjir. Berkat seruan cepat yang tersebar di platform digital, jumlah demonstran melonjak dari 4.000 menjadi 15.000 orang hanya dalam satu jam.
The Manila Times melaporkan bahwa ketika massa mencoba menuju Istana Malacanang, polisi menghadang dengan gas air mata dan menangkap puluhan remaja.
**Orasi dan Tuntutan Tegas**
Aksi demonstrasi di Filipina yang bertajuk “Baha sa Luneta: Aksyon laban sa Korapsyon” dipenuhi dengan orasi lantang dari para demonstran. Teddy Casino, salah seorang demonstran, menegaskan bahwa korupsi telah mendorong rakyat turun ke jalan.
“Korupsi membuat rakyat turun ke jalan, menyalurkan kemarahan mereka, agar pemerintah benar-benar menjalankan tugasnya,” tegas Teddy Casino.
Sarah Elago, seorang tokoh muda di Filipina, juga ikut bersuara. Ia menyoroti praktik korupsi dan dinasti politik yang masih merajalela di negaranya.
“Lima puluh tiga tahun berlalu, namun pencuri dan koruptor tetap berkuasa. Apakah Anda akan membiarkan ini?” seru Sarah, yang disambut dengan pekikan “Tidak!” dari ribuan massa.
**Nepal dan Prancis: Jejak Demonstrasi Serupa**
Sebelumnya, Nepal dan Prancis telah lebih dulu menunjukkan pola aksi demonstrasi serupa pada awal September 2025. Di Nepal, pemblokiran media sosial memicu perlawanan luas yang akhirnya menggulingkan perdana menteri. Sementara itu, di Prancis, Gen Z juga menjadi garda depan dalam menuntut perubahan politik di negaranya.
Gerakan Gen Z di berbagai negara menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi lebih dari sekadar platform hiburan. Media sosial menjadi alat mobilitas bagi generasi muda untuk berkumpul dan menyuarakan pendapat.
Namun, setiap demonstrasi yang berujung pada aksi turun ke jalanan selalu menyimpan risiko terjadinya bentrokan dan bahkan jatuhnya korban jiwa. Oleh karena itu, diperlukan kebijaksanaan dari generasi muda di seluruh dunia untuk mengantisipasi dampak buruk dari pola aksi demonstrasi yang memanfaatkan media sosial.