Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan penting Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera menindaklanjuti putusan ini. Putusan tersebut dianggap sebagai peluang untuk memperbaiki sistem pemilu Indonesia agar lebih efektif dan demokratis.
Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, menekankan bahwa DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang, bertanggung jawab untuk merevisi undang-undang yang berkaitan. Putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga respons cepat berupa revisi undang-undang sangat diharapkan.
Gagasan pemisahan pemilu nasional dan lokal sebenarnya bukan hal baru. Badan Keahlian DPR pernah memasukkannya dalam draf RUU Pemilu pada Prolegnas 2020, namun kemudian dicabut pada tahun 2021. Oleh karena itu, Perludem menempuh jalur judicial review ke MK untuk mencapai tujuan tersebut.
Implikasi Putusan MK dan Revisi UU
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 menetapkan bahwa Pemilu Presiden, DPR, dan DPD akan dilaksanakan terlebih dahulu. Pemilu DPRD dan kepala daerah akan dilaksanakan 2 hingga 2,5 tahun setelahnya. Ini membutuhkan revisi menyeluruh terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada melalui pendekatan kodifikasi.
Revisi UU harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk pengaturan masa transisi antara periode jabatan lama dan baru untuk DPRD dan kepala daerah. Terdapat dua opsi yang bisa dipertimbangkan: memperpanjang masa jabatan atau mengangkat Penjabat (Pj). Perumusan masa transisi ini memerlukan kajian mendalam dan keputusan yang bijak oleh pembentuk UU.
Tantangan dalam Revisi UU
Proses revisi UU harus dilakukan dengan hati-hati dan terencana dengan baik, menghindari terburu-buru. Aspek ketepatan sistem, keterjangkauan logistik, dan kesesuaian dengan kondisi sosial-politik harus menjadi pertimbangan utama. Sistem pemilu yang baik bukan hanya dilihat dari mekanisme langsung atau tidak langsung, tetapi juga dari seberapa tepat dan aplikatif sistem tersebut dijalankan.
Penting untuk memastikan proses revisi UU mempertimbangkan aspek kesederhanaan, keadilan, dan representasi aspirasi rakyat. Sistem pemilu harus mencegah praktik politik uang atau vote buying yang merugikan integritas demokrasi.
Pendapat Ahli
Siti Zuhro, Peneliti Utama Politik BRIN, mengatakan bahwa putusan MK ini menjadi momentum untuk menghadirkan pembaruan dalam sistem demokrasi Indonesia. Putusan tersebut harus diimplementasikan dengan baik, tidak hanya sebagai dokumen hukum, tetapi juga sampai ke tingkat akar rumput.
Ia menekankan perlunya sistem pemilu yang sederhana, adil, dan mencerminkan aspirasi rakyat. Praktik politik uang harus dihindari agar pemilu benar-benar menjadi ajang pemilihan pemimpin yang berdasarkan pada pilihan rakyat, bukan karena suap.
Siti Zuhro juga mengingatkan pentingnya proses revisi yang matang dan terencana. Aspek ketepatan sistem, keterjangkauan logistik, dan kesesuaian dengan kondisi sosial-politik harus diperhatikan agar pemilu dapat terselenggara dengan baik dan efektif.
Kesimpulannya, putusan MK ini membuka peluang besar untuk memperbaiki sistem kepemiluan di Indonesia. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada komitmen Pemerintah dan DPR dalam merevisi UU dengan cermat, mempertimbangkan berbagai aspek, dan mengutamakan prinsip keadilan, efektivitas, dan representasi rakyat.
Tinggalkan komentar