Wacana pencampuran 10 persen etanol (E10) ke dalam bahan bakar minyak (BBM) kembali menjadi sorotan setelah mendapat lampu hijau dari Presiden Prabowo pada awal Oktober 2025. Kebijakan ini diharapkan mampu mengurangi impor minyak dan menekan emisi karbon. Namun, penerapan E10 di lapangan masih menyisakan sejumlah tantangan yang perlu diatasi.
Salah satu sorotan utama adalah kesiapan infrastruktur dan potensi dampak teknis pada kendaraan yang sudah beredar. Pertamina sendiri telah melakukan uji coba E10 di Surabaya dengan menggandeng mitra otomotif untuk mengkaji dampaknya terhadap mesin dan emisi. Hasil awal menunjukkan adanya penurunan gas buang CO dan HC. Akan tetapi, banyak pihak masih mempertanyakan kesiapan infrastruktur distribusi dan risiko yang mungkin timbul pada kendaraan lama.
Kajian Ulang Penerapan E10
Anggota Komisi XI DPR RI, Ateng Sutisna, menilai rencana penerapan E10 perlu dikaji ulang. Meskipun penggunaan etanol dinilai baik bagi lingkungan, ia menekankan pentingnya mempertimbangkan kesesuaian dengan kondisi mesin kendaraan yang digunakan masyarakat saat ini.
Ketidaksesuaian dengan Mesin Konvensional
Ateng Sutisna menjelaskan bahwa sebagian besar kendaraan di Indonesia masih menggunakan sistem pembakaran konvensional. Sistem ini belum sepenuhnya siap menerima kadar etanol tinggi dalam bahan bakar. Pencampuran etanol yang terlalu besar berpotensi memengaruhi performa dan daya tahan komponen tertentu.
“Bagi banyak kendaraan, adanya kandungan etanol saat ini belum ramah bagi mesin meski secara lingkungan lebih ramah. Diharapkan saat teknologi mesin mobil semakin canggih, etanol akan menjadi pilihan yang lebih baik,” ujar Ateng Sutisna.
Menunggu Kesiapan Teknologi
Ateng menegaskan bahwa penerapan E10 saat ini belum tepat. Ia berpendapat bahwa kebijakan ini akan lebih ideal jika teknologi mesin di Indonesia sudah lebih maju, sejalan dengan upaya mendukung transisi energi bersih.
Dorongan untuk Keterlibatan Ahli
Ateng mendorong pemerintah untuk melibatkan para ahli otomotif dan industri kendaraan dalam penentuan campuran etanol. Tujuannya adalah untuk mengantisipasi dampak terhadap performa mesin secara lebih baik.
“Kita ingin proses transisi energi yang sukses, bukan transisi yang dipaksakan. Jadi langkahnya harus bertahap, menyesuaikan kesiapan teknologi nasional,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ateng juga mengapresiasi pengembangan energi hijau dan penggunaan bioetanol yang digalakkan pemerintah. Namun, ia mengingatkan agar pelaksanaannya tidak memaksa SPBU swasta atau mengorbankan kualitas bahan bakar. Kebijakan energi, menurutnya, harus selaras dengan kesiapan pasar dan infrastruktur penunjang.
“Dari sisi konsep, kita mesti mendukung. Tapi penerapan di lapangan harus realistis, baik kesiapan teknologi mesin maupun ketersediaan BBM berkualitas. Jika dipaksakan, justru bisa merugikan konsumen dan menyebabkan penurunan kepercayaan terhadap energi hijau,” tegasnya.
Dengan demikian, meskipun ada potensi manfaat dari E10, perlu ada kehati-hatian dalam penerapannya. Kesiapan teknologi, infrastruktur, dan dukungan dari berbagai pihak menjadi kunci keberhasilan transisi energi yang berkelanjutan.