Krisis bahan bakar minyak (BBM) di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta masih menjadi sorotan utama. Meskipun pasokan BBM impor telah tiba di Indonesia, beberapa SPBU swasta memilih untuk mundur dari kerjasama dengan PT Pertamina (Persero). Hal ini menyebabkan pelayanan terhadap konsumen menjadi terganggu.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai penyebab kelangkaan dan dampaknya bagi masyarakat. Artikel ini akan mengulas secara mendalam mengenai duduk perkara kelangkaan BBM di SPBU swasta, serta tanggapan dari berbagai pihak terkait.
Pertamina Tegaskan Tak Ambil Keuntungan
Pertamina sebagai badan usaha milik negara (BUMN) menegaskan bahwa mereka tidak memanfaatkan situasi kelangkaan BBM untuk mencari keuntungan.
Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, menyampaikan langsung kepada awak media di Jakarta, Selasa (7/10/2025), bahwa perusahaan tidak mengambil keuntungan dari kondisi ini.
“Pertamina tidak memanfaatkan situasi. Kami juga tidak mencari keuntungan,” tegas Simon.
Pembicaraan Masih Terbuka
Pertamina menyatakan masih membuka peluang negosiasi dengan SPBU swasta. Perusahaan juga telah menyepakati prinsip *open book* untuk menjaga stabilitas harga BBM di pasaran.
“Pembicaraan masih terus, yang pasti dari kita juga membuka diri dari SPBU swasta juga. Sama-sama kan kita sudah ini semua, *open book* dan agar harga di masyarakat tidak terpengaruh, tidak ada kenaikan harga,” jelas Simon.
Penyebab SPBU Swasta Batal Kolaborasi
Salah satu alasan utama di balik pembatalan kerjasama antara SPBU swasta dan Pertamina adalah adanya kandungan etanol sebesar 3,5 persen dalam *base fuel* yang disediakan Pertamina. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Achmad Muchtasyar, dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XII DPR RI pada 1 Oktober 2025.
Achmad Muchtasyar menjelaskan, VIVO dan APR membatalkan kerjasama karena masalah tersebut.
“VIVO membatalkan untuk melanjutkan, akhirnya tidak disepakati lagi. Lalu tinggal APR. APR akhirnya tidak juga. Jadi, tidak ada semua,” ujar Achmad Muchtasyar.
Sebelumnya, VIVO telah sepakat untuk membeli 40 ribu barel *base fuel* dari Pertamina.
Achmad menambahkan, kandungan etanol sebesar 3,5 persen dalam *base fuel* Pertamina menjadi pertimbangan utama SPBU swasta untuk membatalkan pembelian. Padahal, menurutnya, kandungan etanol tersebut masih dalam ambang batas aman.
“Kontennya itu ada kandungan etanol, di mana secara regulasi itu diperkenankan etanol itu sampai jumlah tertentu,” imbuhnya.
“Kalau tidak salah sampai 20 persen etanol, sedangkan ada etanol 3,5 persen ini yang membuat kondisi teman-teman SPBU swasta tidak melanjutkan pembelian karena ada konten etanol tersebut,” jelasnya.
Sementara itu, Shell Indonesia memiliki pembahasan internal tersendiri yang juga membuatnya batal melakukan pembelian BBM dari Pertamina.
Kuota Impor 110 Persen untuk SPBU Swasta
Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, sebelumnya telah menegaskan bahwa SPBU swasta telah mendapatkan kuota impor 110 persen pada tahun 2025. Jumlah ini lebih tinggi 10 persen dibandingkan tahun 2024.
“Kuota ini sudah diberikan secara normal, namun ada kondisi di mana 110 persen yang diberikan itu habis sebelum 31 Desember,” kata Menteri ESDM Bahlil Lahadalia di kantor Kementerian ESDM pada 19 September 2025.
Bahlil menjelaskan bahwa pemerintah akan tetap melayani kebutuhan BBM SPBU swasta, namun melalui kolaborasi dengan Pertamina.
“Atas dasar itu, pemerintah membuat keputusan untuk tetap dilayani, tetapi akan diberikan lewat kolaborasi dengan Pertamina,” terangnya usai pertemuan dengan para pengusaha SPBU swasta.
Dengan adanya kuota impor yang lebih besar, Bahlil menyatakan bahwa seharusnya tidak terjadi kelangkaan karena SPBU swasta dapat membeli produk BBM dari Pertamina melalui kerjasama tersebut.