Lesunya respons masyarakat terhadap Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di media sosial mencerminkan bahwa persoalan pendidikan Indonesia belum menjadi perhatian utama. Pendidikan belum dipandang sekrusial isu politik dan ekonomi, padahal kualitas pendidikan merupakan fondasi kemajuan bangsa.
Data survei OECD menunjukkan rendahnya kemampuan literasi, numerasi, dan sains siswa SMA Indonesia. Hanya 1,5% yang memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, jauh di bawah rata-rata negara lain. Rendahnya *growth mindset* (29%) juga menjadi masalah serius, membatasi potensi perkembangan siswa.
Masalah lain yang memprihatinkan adalah tingginya angka perundungan dan rendahnya kejujuran akademik. Praktik perjokian UTBK dan tingginya jumlah jurnal akademik Indonesia yang terindeks di jurnal predator menunjukkan betapa seriusnya masalah ini.
Kesenjangan Akses dan Infrastruktur
Kesenjangan akses pendidikan dan minimnya infrastruktur sekolah memperparah kondisi ini. Meskipun masyarakat menyadari pentingnya pendidikan untuk peradaban bangsa, mereka melihatnya sebagai tanggung jawab kelembagaan, bukan tanggung jawab bersama.
Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan peningkatan kualitas pendidikan mengakibatkan siklus buruk ini terus berlanjut. Peran serta aktif dari semua pihak sangat penting untuk mengubah keadaan ini.
Kritik terhadap Kebijakan Kementerian Pendidikan
Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) menilai apatisme publik, khususnya kalangan guru dan anak muda, disebabkan oleh kebijakan Kementerian Pendidikan yang sering berganti tanpa menyentuh akar masalah. Kebijakan yang terkesan “blingsatan” tanpa arah yang jelas membuat masyarakat kehilangan kepercayaan.
Ketidaksinambungan visi dan misi Kementerian Pendidikan dengan program yang dijalankan juga menjadi sorotan. Misalnya, program pembelajaran coding dan AI yang dijalankan tanpa memperhatikan fondasi berpikir kritis dan ilmiah siswa yang masih lemah.
Sebelum mengajarkan hal-hal yang bersifat abstrak, seharusnya pemerintah lebih fokus pada penguatan fondasi berpikir dasar siswa. Hal ini membutuhkan proses dan waktu yang panjang, bukan hanya sekadar mengganti program secara serampangan.
Pentingnya Kembali ke Akar dan Kebudayaan
GSM menekankan perlunya “kembali ke akar” dan kebudayaan dalam pendidikan, seperti yang diajarkan Ki Hajar Dewantara. Pendidikan harus menuntun kekuatan kodrat alam anak, yaitu rasa ingin tahu, kreativitas, dan potensi yang beragam, dalam lingkungan yang mendukung.
Hal ini berarti memberikan kedaulatan penuh kepada guru untuk berkreativitas dalam mengajar. Pemerintah harus menciptakan ekosistem yang memberdayakan guru untuk membongkar mentalitas terjajah dan feodalisme, serta memicu kreativitas dan keberanian berpikir.
Guru harus kembali ke akar sebagai manusia pembelajar, penumbuh karakter, dan agen perubahan kultural. Dengan demikian, Indonesia dapat mencetak generasi yang terpelajar dan berjiwa merdeka, siap berkompetisi di kancah global.
Rekomendasi untuk Peningkatan Kualitas Pendidikan
Untuk mengatasi masalah pendidikan di Indonesia, diperlukan perubahan mendasar atau revolusi kultural. Berikut beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan:
- Meningkatkan investasi di sektor pendidikan, termasuk infrastruktur dan pelatihan guru.
- Mengembangkan kurikulum yang berpusat pada siswa dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan inovatif.
- Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan dan peningkatan kualitas pendidikan.
- Memberdayakan guru dengan memberikan otonomi dan pelatihan yang memadai.
- Membangun ekosistem pendidikan yang mendukung kreativitas dan inovasi.
- Menerapkan kebijakan pendidikan yang konsisten dan berkelanjutan, bukan hanya sekadar mengganti istilah atau program.
- Menanamkan nilai-nilai kejujuran dan integritas akademik sejak dini.
Dengan komitmen dan kerja sama dari semua pihak, Indonesia dapat mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berdampak positif bagi generasi mendatang.