Sebuah kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh seorang pendeta di Blitar, Jawa Timur, mengguncang publik. Kasus ini mengingatkan kita pada film “Spotlight”, yang mengisahkan investigasi serupa di Amerika Serikat. Peristiwa ini menyorot pentingnya perlindungan anak dan penegakan hukum yang tegas terhadap kejahatan seksual.
Pendeta DBH (67) telah ditahan oleh Ditreskrimum Polda Jawa Timur atas dugaan pencabulan terhadap tiga anak di bawah umur, yaitu GTP (15 tahun), TTP (12 tahun), dan NTP (7 tahun). Ketiga korban diketahui tinggal di lingkungan gereja di Kota Blitar. Kasus ini terungkap berkat perjuangan ayah korban yang dibantu pengacara kondang Hotman Paris Hutapea.
Menurut keterangan Dirreskrimum Polda Jatim, Brigjen Farman, pencabulan diduga terjadi di beberapa lokasi, termasuk ruang kerja pendeta di Gereja JKI Mahanani dan kediaman pelaku. Perbuatan ini berlangsung diduga sejak tahun 2022 hingga 2024. Yang lebih mengkhawatirkan, pelecehan diduga terjadi berulang kali terhadap korban.
Modus Operandi dan Kronologi Kejahatan
Modus yang digunakan pelaku terbilang licik dan memanfaatkan kepercayaan korban. Terhadap GTP, DBH diduga menunjukkan video asusila sebelum melakukan pelecehan. Terhadap TTP, pelecehan terjadi di kolam renang dan ruang kerja gereja. Sedangkan NTP diduga menjadi korban di kamar mandi kolam renang dan di dalam mobil pelaku.
Kasus ini awalnya dilaporkan ke Polres Blitar, namun kemudian dicabut. Namun, berkat kegigihan ayah korban dan bantuan Hotman Paris, kasus ini akhirnya diambil alih oleh Polda Jawa Timur pada 19 Juni 2025 dan akhirnya berhasil diusut tuntas.
Peran Lembaga Keagamaan dan Perlindungan Anak
Kasus ini menjadi sorotan tajam terhadap peran lembaga keagamaan dalam melindungi anak-anak di bawah umur. Pentingnya pengawasan internal dan mekanisme pelaporan yang efektif di lingkungan gereja menjadi amat krusial. Lembaga keagamaan harus menunjukkan komitmen yang nyata dalam mencegah dan menangani kasus-kasus serupa.
Selain itu, kasus ini juga menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam memberikan perlindungan yang maksimal kepada anak-anak. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terhadap anak juga sangat diperlukan. Pendidikan seksualitas yang komprehensif bagi anak dan orangtua bisa menjadi langkah preventif yang efektif.
Hukuman bagi Pelaku dan Harapan ke Depan
DBH dijerat dengan Pasal 82 juncto Pasal 76 E UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Ia terancam hukuman penjara hingga 5 tahun. Namun, hukuman tersebut belum cukup untuk mengembalikan trauma yang dialami para korban.
Kejadian ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi semua pihak. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Pentingnya pengawasan yang ketat, pendidikan seksualitas yang memadai, dan penegakan hukum yang tegas menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak.
Semoga kasus ini menjadi momentum untuk memperkuat sistem perlindungan anak di Indonesia dan mencegah terjadinya kejahatan serupa di masa mendatang. Perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh masyarakat dan pemerintah.
Tinggalkan komentar