Kebijakan tarif impor 145% yang diterapkan Presiden AS Donald Trump pada 9 April 2025 telah menimbulkan dampak signifikan bagi perekonomian global, khususnya di sektor manufaktur. Dampaknya terasa hingga ke pabrik mainan Huntar Company Inc di Guangdong, Tiongkok, yang memproduksi mainan edukasi untuk ritel besar seperti Walmart dan Target.
CEO Huntar Company Inc, Jason Cheung, telah mengantisipasi dampak negatif kebijakan ini. Sebagai langkah antisipatif, perusahaan telah menghentikan produksi jauh sebelum tarif tersebut berlaku. Keputusan ini diambil untuk mengurangi kerugian potensial yang sangat besar.
Penghentian produksi oleh Huntar Company Inc merupakan cerminan krisis yang dihadapi banyak pabrik mainan di Tiongkok. Sekitar 80% mainan yang dijual di AS diproduksi di Tiongkok, dan kini menghadapi penurunan pesanan yang drastis. Perang dagang antara AS dan Tiongkok telah menciptakan ketidakpastian yang besar, mengancam stabilitas ekonomi kedua negara.
Dampak Kebijakan Tarif Trump terhadap Tiongkok
Penurunan tajam dalam pesanan telah memaksa banyak pabrik di Tiongkok untuk mengurangi produksi atau bahkan menutup usahanya. Ini berdampak pada lapangan kerja dan perekonomian lokal. Banyak pekerja kehilangan pekerjaan, dan pemerintah Tiongkok menghadapi tantangan dalam menjaga stabilitas ekonomi.
Krisis ini bukan hanya terjadi di sektor mainan. Industri lain yang bergantung pada ekspor ke AS juga mengalami dampak serupa. Perusahaan-perusahaan di Tiongkok dipaksa untuk mencari pasar alternatif, namun hal ini membutuhkan waktu dan investasi yang signifikan.
Beberapa perusahaan memilih untuk merelokasi pabrik mereka ke negara lain dengan biaya produksi yang lebih rendah dan akses pasar yang lebih mudah. Namun, relokasi ini juga membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit, dan tidak semua perusahaan mampu melakukannya.
Dampak Kebijakan Tarif Trump terhadap Indonesia
Indonesia juga merasakan dampak negatif kebijakan tarif Trump. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,3-0,5 poin persentase akibat kebijakan ini. Tarif bea masuk sebesar 32% yang dikenakan AS terhadap beberapa produk Indonesia telah mengurangi daya saing produk ekspor.
Sektor yang terdampak paling signifikan termasuk elektronik, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, minyak sawit (palm oil), karet, furnitur, udang, dan produk perikanan laut. Eksportir Indonesia harus berupaya keras untuk tetap kompetitif di pasar AS.
Pemerintah Indonesia telah berkoordinasi dengan Malaysia, selaku pemegang keketuaan ASEAN, untuk mengambil langkah bersama-sama dengan sepuluh negara anggota ASEAN. Kerjasama regional dianggap penting untuk menghadapi tantangan ekonomi global yang semakin kompleks.
Strategi Menghadapi Tantangan Global
Peristiwa ini menyoroti pentingnya diversifikasi pasar ekspor bagi negara-negara berkembang. Ketergantungan yang besar pada satu pasar ekspor, seperti AS, membuat negara rentan terhadap perubahan kebijakan ekonomi negara tersebut. Pentingnya membangun ketahanan ekonomi nasional menjadi sorotan utama.
Indonesia, dan negara-negara ASEAN lainnya, perlu mengembangkan strategi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS dan memperkuat daya saing produk ekspor di pasar global. Investasi dalam riset dan pengembangan, peningkatan kualitas produk, dan inovasi menjadi kunci keberhasilan.
Kerjasama regional antar negara ASEAN juga sangat penting. Dengan bersatu, negara-negara ASEAN dapat menciptakan pasar yang lebih besar dan lebih kuat, sehingga mampu menghadapi tantangan ekonomi global dengan lebih efektif.
Selain itu, peningkatan efisiensi dan daya saing produk dalam negeri juga menjadi kunci penting agar tidak terlalu terpengaruh oleh kebijakan ekonomi global yang fluktuatif. Hal ini memerlukan dukungan pemerintah dalam bentuk insentif, pelatihan, dan pengembangan infrastruktur.