Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kabupaten Barito Utara pada Rabu, 8 Mei 2025. Sidang yang beragendakan pemeriksaan saksi dari pemohon, termohon, dan pihak terkait ini menyoroti kualitas kesaksian yang diberikan, khususnya oleh saksi dari pihak pemohon.
Salah satu saksi pemohon, Indra Tamara, menjadi pusat perhatian. Ia memberikan keterangan yang didasarkan pada cerita orang lain, bukan pengalaman langsung. Hal ini langsung direspons oleh Ketua Majelis Hakim Suhartoyo yang menekankan pentingnya kesaksian berdasarkan penglihatan, pendengaran, atau pengalaman langsung. Kesaksian berdasarkan cerita orang lain hanya akan dinilai sebagai pertimbangan, bukan fakta mutlak.
Lebih lanjut, Kuasa hukum pihak terkait, Jubendri, mengungkapkan bahwa Indra Tamara sebelumnya pernah diperiksa dalam kasus dugaan politik uang di Pengadilan Negeri Muara Teweh. Dalam kasus tersebut pun, Indra mengakui tidak menyaksikan langsung peristiwa yang dimaksud. Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kredibilitas kesaksiannya dalam sidang PHPU.
Analisis Kritis Terhadap Kesaksian di Sidang PHPU
Praktisi hukum Ari Yunus Hendrawan memberikan penjelasan mengenai persyaratan kesaksian yang sah di pengadilan. Kesaksian yang sah harus berasal dari seseorang yang secara langsung melihat, mendengar, atau mengalami kejadian yang bersangkutan. Jika tidak memenuhi kriteria ini, kesaksian hanya dianggap sebagai petunjuk dan nilainya bergantung pada bukti lain yang relevan.
Dalam konteks PHPU di MK, kesaksian harus berkaitan langsung dengan perselisihan hasil perolehan suara. Objek perkara adalah hasil suara yang menentukan calon terpilih. Saksi harus mampu menjelaskan peristiwa yang secara langsung berdampak pada hasil perolehan suara tersebut. Kesaksian yang tidak memenuhi syarat ini dapat mengaburkan fakta dan mempersulit proses pengadilan.
Implikasi Kesaksian yang Tidak Langsung
Kesaksian Indra Tamara menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas proses hukum. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak menyaksikan langsung peristiwa pokok perkara dapat dihadirkan sebagai saksi? Hal ini menimbulkan keraguan publik terhadap kualitas pembuktian dalam sidang PHPU.
Kejadian ini juga menyoroti perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap proses seleksi dan pemeriksaan saksi dalam sidang-sidang PHPU. Standar kualitas kesaksian harus ditegakkan untuk memastikan keadilan dan integritas proses hukum. Proses seleksi yang cermat dan teliti diperlukan untuk mencegah munculnya kesaksian yang meragukan dan berpotensi menyesatkan.
Ke depan, MK dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan edukasi publik mengenai pentingnya kesaksian yang valid dan kredibel dalam proses penyelesaian sengketa pemilu. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum harus terus ditingkatkan demi kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Rekomendasi untuk Peningkatan Sistem Hukum
Untuk mencegah terulangnya kejadian serupa, beberapa rekomendasi dapat diajukan. Pertama, perlu pelatihan yang lebih komprehensif bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses hukum, termasuk saksi, pengacara, dan hakim, mengenai standar kesaksian yang sah dan kredibel. Kedua, perlu dibentuk mekanisme verifikasi yang lebih ketat terhadap kesaksian yang diajukan, guna memastikan validitas dan relevansi informasi yang diberikan.
Ketiga, perlu peningkatan transparansi dalam proses pemeriksaan saksi, sehingga publik dapat memantau dan menilai kredibilitas kesaksian yang disampaikan. Dengan demikian, diharapkan proses hukum dapat berjalan dengan lebih adil, transparan, dan akuntabel. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan memastikan keadilan tertegak.