Polda Metro Jaya mengamankan seorang remaja laki-laki di bawah umur yang diduga sebagai distributor konten pornografi anak melalui grup Facebook. Remaja tersebut ditangkap di Pekanbaru, Riau, pada 15 Mei 2025. Meskipun perbuatannya memenuhi unsur pidana berat, proses hukumnya dilakukan melalui pendekatan keadilan restoratif.
Remaja ini kini berstatus Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) dan menjalani diversi. Ia berada di bawah pengawasan orang tua dan Balai Pemasyarakatan (Bapas) Anak. Pendekatan keadilan restoratif ini dipilih mengingat usianya yang masih di bawah umur dan sedang menjalani ujian sekolah, sesuai ketentuan Sistem Peradilan Pidana Anak.
Modus Operandi Distribusi Konten Pornografi Anak
Berdasarkan penyelidikan, ABH aktif mendistribusikan konten pornografi anak melalui grup Facebook yang awalnya bernama “Fantasi Sedarah,” kemudian berganti nama menjadi “Suka Duka.” Ia menjual paket berisi tiga konten pornografi anak seharga Rp50.000. Setelah menerima pembayaran, ia memblokir kontak pembeli di WhatsApp dan Telegram.
Selain itu, ABH juga mempromosikan konten tersebut di setidaknya 144 grup Telegram. Hal ini menunjukkan luasnya jangkauan dan potensi dampak negatif dari tindakannya. Kepolisian masih menyelidiki kemungkinan adanya pelaku dewasa yang terlibat dalam jaringan ini.
Pertimbangan Keadilan Restoratif dan Tindak Lanjut Hukum
Meskipun perbuatan ABH memenuhi unsur tindak pidana, diputuskan untuk menggunakan jalur diversi karena usianya dan tengah menghadapi ujian sekolah. Ini merupakan upaya untuk memberikan kesempatan rehabilitasi dan pembinaan bagi ABH agar tidak mengulangi perbuatannya.
Namun, perlu ditekankan bahwa pendekatan keadilan restoratif tidak berarti tanpa konsekuensi hukum. ABH tetap dijerat dengan pasal-pasal yang relevan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Undang-Undang Pornografi, dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sansi yang diberikan akan disesuaikan dengan proses diversi yang dijalaninya.
Pentingnya Pencegahan dan Peran Orang Tua
Kasus ini menyoroti pentingnya peran orang tua dalam mengawasi aktivitas anak di dunia maya. Pengetahuan tentang bahaya konten online dan kemampuan untuk mengidentifikasi potensi ancaman sangat penting untuk melindungi anak dari eksploitasi dan kekerasan seksual online.
Selain itu, diperlukan edukasi dan sosialisasi yang lebih luas tentang bahaya pornografi anak dan UU yang mengatur tentang hal tersebut, baik kepada anak-anak, orang tua, maupun masyarakat umum. Pencegahan sejak dini merupakan kunci untuk melindungi anak dari ancaman kejahatan siber.
Dampak Psikologis bagi Korban dan Pelaku
Konten pornografi anak menimbulkan dampak psikologis yang serius baik bagi korban maupun pelaku. Korban dapat mengalami trauma, gangguan emosi, dan depresi jangka panjang. Sementara itu, pelaku juga berisiko mengalami gangguan kepribadian dan perilaku menyimpang di kemudian hari.
Oleh karena itu, selain aspek hukum, penting juga memberikan pendampingan dan konseling psikologis bagi ABH agar ia dapat memahami dampak perbuatannya dan melakukan perubahan perilaku. Proses rehabilitasi ini menjadi bagian penting dari keadilan restoratif yang diterapkan.
Pentingnya Kolaborasi Antar Lembaga
Penanganan kasus ini membutuhkan kolaborasi yang kuat antara berbagai pihak, termasuk kepolisian, Bapas, lembaga perlindungan anak, dan psikolog. Kerja sama yang terintegrasi diperlukan untuk memastikan efektivitas proses hukum dan pembinaan ABH, serta mencegah terjadinya kasus serupa di masa mendatang.
Ke depan, perlu ditingkatkan upaya pengawasan dan penegakan hukum terhadap penyebaran konten pornografi anak secara online. Peningkatan literasi digital bagi masyarakat juga sangat penting untuk menciptakan lingkungan daring yang aman bagi anak-anak.