Selama lebih dari tujuh dekade, dolar Amerika Serikat (USD) telah menjadi mata uang dominan dalam sistem keuangan global. Namun, tren de-dolarisasi, yaitu upaya negara-negara untuk mengurangi ketergantungan pada dolar, semakin menguat.
Beberapa faktor mendorong de-dolarisasi. Pertama, penggunaan dolar sebagai senjata politik melalui sanksi ekonomi AS terhadap negara-negara yang dianggapnya mengancam kepentingan nasional. Hal ini mendorong negara-negara seperti Rusia, Iran, dan Venezuela untuk mencari alternatif sistem pembayaran.
Kedua, kebijakan ekonomi AS yang agresif, termasuk defisit anggaran yang besar, perang dagang, dan peningkatan tarif impor, menimbulkan ketidakpastian dan mengurangi kepercayaan investor global terhadap dolar. Beberapa analis memprediksi depresiasi dolar hingga 15-20% dalam 5-10 tahun mendatang jika kebijakan ini berlanjut.
Ketiga, meningkatnya polarisasi politik di AS juga berkontribusi pada ketidakstabilan global dan mengurangi kepercayaan terhadap dolar. Situasi ini mendorong negara-negara untuk mencari alternatif yang lebih stabil dan andal.
Faktor-Faktor Pendorong De-dolarisasi
Penggunaan Dolar sebagai Senjata Politik
Sanksi ekonomi AS yang seringkali digunakan sebagai alat politik telah mendorong banyak negara untuk mencari alternatif sistem keuangan yang lebih independen. Akses yang dibatasi terhadap sistem SWIFT, misalnya, memaksa negara-negara untuk mengembangkan sistem pembayaran alternatif mereka sendiri.
Kebijakan Ekonomi AS yang Tidak Stabil
Defisit anggaran yang terus membengkak, perang dagang yang merugikan, dan peningkatan tarif impor telah menimbulkan ketidakpastian ekonomi global. Hal ini menyebabkan banyak negara meragukan kekuatan dan stabilitas dolar sebagai mata uang cadangan utama.
Ketidakstabilan Politik AS
Meningkatnya polarisasi politik dalam negeri AS menciptakan ketidakpastian politik yang berdampak pada pasar global. Ketidakpastian ini mendorong investor dan negara-negara untuk diversifikasi aset dan mengurangi ketergantungan pada dolar.
Munculnya Alternatif Sistem Pembayaran
Berkembangnya teknologi finansial dan munculnya sistem pembayaran alternatif, seperti BRICS Pay, memberikan pilihan bagi negara-negara untuk melakukan transaksi internasional tanpa melalui dolar. Hal ini mempercepat proses de-dolarisasi.
Peran BRICS dalam De-dolarisasi
Kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) memainkan peran penting dalam mendorong de-dolarisasi. Mereka secara aktif mempromosikan perdagangan bilateral menggunakan mata uang lokal dan tengah berupaya menciptakan mata uang bersama yang didukung oleh teknologi digital dan cadangan emas.
Inisiatif ini menunjukkan ambisi serius BRICS untuk mengurangi dominasi dolar dan menciptakan sistem keuangan yang lebih multipolar. Penggunaan yuan dalam perdagangan energi dan Inisiatif Belt and Road juga memperkuat upaya ini.
Diversifikasi Cadangan Devisa
Bank sentral di berbagai negara juga mulai mendiversifikasi cadangan devisa mereka, dengan peningkatan kepemilikan emas. Pembelian emas oleh bank sentral mencapai rekor tertinggi pada tahun 2022, menunjukkan keinginan untuk mencari instrumen cadangan yang lebih netral dan tahan terhadap risiko geopolitik.
Tantangan De-dolarisasi
Meskipun tren de-dolarisasi semakin nyata, proses ini bukan tanpa tantangan. Infrastruktur keuangan global masih didominasi oleh dolar, termasuk sistem pembayaran internasional, pasar obligasi, dan aset-aset likuid dunia.
Kepercayaan terhadap alternatif seperti yuan atau mata uang BRICS juga masih perlu ditingkatkan. Kekhawatiran mengenai transparansi, stabilitas ekonomi, dan likuiditas pasar masih menjadi penghalang utama.
Masa Depan Dolar
Meskipun menghadapi tantangan, dolar AS masih memiliki keunggulan dalam hal kekuatan militer, stabilitas institusional, dan daya tarik pasar keuangan. Namun, dominasi dolar akan semakin berkurang seiring dengan diversifikasi ekonomi dan perkembangan teknologi finansial.
Dalam beberapa dekade mendatang, dolar mungkin tidak lagi menjadi mata uang tunggal yang dominan, tetapi akan menjadi bagian dari sistem mata uang global yang lebih plural dan seimbang. Indonesia, misalnya, telah memulai inisiatif Local Currency Settlement (LCS) untuk mengurangi ketergantungan pada dolar dalam transaksi internasional.
Pertanyaan besarnya adalah, apakah dunia benar-benar siap hidup tanpa dominasi dolar? Atau, apakah dunia sedang mempersiapkan diri untuk tatanan keuangan baru yang lebih setara dan berimbang? Yang pasti, kejayaan dolar yang tak tergoyahkan di masa lalu kini mulai pudar.