Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) baru-baru ini memberikan tanggapan terkait aksi demonstrasi yang dilakukan oleh pengemudi online di Indonesia. Mereka menekankan pentingnya sektor ini bagi kehidupan masyarakat modern dan dampak ekonomi yang signifikan jika kepentingan para mitra pengemudi diabaikan.
Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, menjelaskan bahwa solusi atas permasalahan yang dihadapi para pengemudi online harus berbasis pada realitas ekonomi, bukan sekadar wacana politik. Ia menyoroti pentingnya kebijakan yang berpihak pada data dan mempertimbangkan dampak jangka panjang.
Dampak Kebijakan yang Tidak Berpihak pada Mitra Pengemudi
Agung Yudha memberikan contoh konkret mengenai wacana penyeragaman komisi sebesar 10 persen. Ia berpendapat bahwa kebijakan ini terlalu kaku dan dapat memaksa platform untuk mengubah model bisnis secara drastis. Hal ini dapat berdampak pada ketidakstabilan ekonomi secara sistemik.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya penyesuaian tarif yang adil dan realistis, berdasarkan data dan bukan tekanan. Tarif yang terlalu tinggi dapat menurunkan minat konsumen, sementara tarif yang terlalu rendah dapat mengancam kesejahteraan mitra pengemudi. Menemukan titik keseimbangan yang adil bagi semua pihak menjadi kunci utama.
Regulasi Tarif Pengantaran: Perbedaan ODS dan Logistik Konvensional
Agung Yudha juga menyoroti pentingnya perbedaan regulasi antara pengantaran makanan dan barang melalui layanan pesan antar online (ODS) dengan logistik konvensional. Ia menegaskan bahwa cara kerja, kecepatan, dan fungsi pengiriman sangat berbeda. Menyeragamkan tarif akan membatasi inovasi dan berpotensi membunuh industri secara perlahan.
Menurutnya, penerapan regulasi yang sama untuk keduanya tidak tepat. Hal ini karena karakteristik, biaya operasional, serta skala ekonomi yang berbeda secara signifikan. Regulasi yang tepat harus mengakomodasi perbedaan fundamental ini.
Wacana Status Kepegawaian Mitra Pengemudi
Wacana untuk menjadikan mitra pengemudi dan kurir sebagai pegawai tetap telah muncul di berbagai negara. Namun, Agung Yudha menekankan bahwa hal ini tidak serta merta menjadi solusi yang ideal bagi Indonesia. Ia menyarankan agar dilakukan analisis dampak kebijakan (“regulatory impact assessment”) terlebih dahulu untuk memastikan efektivitasnya.
Penerapan kebijakan tersebut secara langsung di Indonesia berpotensi menimbulkan konsekuensi negatif seperti berkurangnya jumlah mitra, kenaikan harga layanan, dan hambatan bagi perkembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Kebijakan yang Salah
Berdasarkan data Svara Institute tahun 2023, jika kebijakan yang salah diterapkan, lebih dari 1,4 juta pekerjaan berpotensi hilang dan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berisiko turun hingga 57,5 persen. Angka ini menunjukkan betapa pentingnya kebijakan yang tepat sasaran dan terukur dampaknya bagi sektor ini.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan komprehensif yang mempertimbangkan semua aspek, termasuk kesejahteraan mitra pengemudi, kepentingan konsumen, dan perkembangan ekonomi nasional secara keseluruhan. Diskusi dan kolaborasi yang melibatkan semua pemangku kepentingan sangat krusial untuk mencapai solusi yang optimal.
Kesimpulannya, Modantara menekankan perlunya pendekatan yang berimbang dan berkelanjutan dalam mengatur sektor mobilitas dan pengantaran digital di Indonesia. Kebijakan yang diambil harus didasarkan pada data, analisis dampak yang komprehensif, dan pertimbangan terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam ekosistem ini.