Kuasa Hukum Bongkar SK Wali Kota Semarang: Ada Apa dengan PDAM Tirta Moedal?

Kuasa Hukum Bongkar SK Wali Kota Semarang Ada Apa dengan PDAM Tirta Moedal

Polemik pemberhentian jajaran Direksi PDAM Tirta Moedal Kota Semarang semakin memanas. Melalui kuasa hukumnya, Muhtar Hadi Wibowo, pihak Direksi secara resmi mengajukan keberatan atas Surat Keputusan (SK) Wali Kota Semarang yang dinilai cacat hukum. Langkah ini diambil sebagai respons atas keputusan pemberhentian yang dianggap melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Surat keberatan ini diajukan terhadap SK Wali Kota Semarang Nomor 500/947 Tahun 2025 dan Nomor 500/948 Tahun 2025, tertanggal 9 Oktober 2025. Muhtar Hadi Wibowo menilai keputusan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pihaknya menegaskan bahwa pemberhentian ini merupakan tindakan yang tidak berdasar dan merugikan kliennya.

Keberatan Hukum Terhadap Pemberhentian Direksi

Muhtar Hadi Wibowo menyampaikan keberatan kepada Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng, atas pemberhentian Direksi PDAM Tirta Moedal. Ia menilai keputusan tersebut cacat hukum dan menabrak aturan yang ada. Muhtar bahkan menyebutkan bahwa tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum (PMH).

Alasan Keberatan: Pelanggaran Prosedur dan Masa Jabatan

Pemberhentian dua Direksi PDAM tersebut dinilai melanggar Pasal 1365 KUH Perdata. Muhtar berpendapat bahwa masa jabatan Direksi seharusnya berlaku hingga tahun 2029. Pemberhentian yang dilakukan secara mendadak, tanpa dasar hukum yang kuat, dianggap sebagai tindakan yang tidak sesuai.

“SK Direksi itu berlaku hingga tahun 2029, tapi baru satu tahun menjabat sudah dicut. Padahal kinerjanya baik, ikut seleksi terbuka lewat UNDIP, hasilnya juga bagus, tapi kini justru diberhentikan. Ini tindakan yang tidak manusiawi,” ujar Muhtar.

Muhtar juga menegaskan bahwa berdasarkan Pasal 68 UU Nomor 30 Tahun 2014, SK yang telah diterbitkan masih dapat dicabut apabila ditemukan kesalahan prosedur. Oleh karena itu, ia mendesak Wali Kota Semarang untuk mencabut dan membatalkan SK pemberhentian tersebut.

Tidak Ada Prosedur yang Sesuai

Muhtar juga menyoroti tidak adanya tahapan yang sesuai mekanisme sebelum pemberhentian dilakukan. Tidak ada teguran atau peringatan dari Dewan Pengawas maupun Pemerintah Kota sebelum SK pemberhentian diterbitkan.

“Faktanya, klien kami tidak pernah menerima surat teguran, tidak pernah diperingatkan, dan tidak ada evaluasi kinerja yang menunjukkan pelanggaran. Tapi tiba-tiba terbit SK pemberhentian. Ini jelas melanggar asas keadilan dan kepastian hukum,” ungkap Muhtar.

Dampak dan Penilaian Kinerja

Keputusan Wali Kota dinilai tidak mencerminkan semangat Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS. Muhtar mempertanyakan dasar pemberhentian jika kinerja Direksi dinilai baik.

“Ibu Wali Kota baru menjabat beberapa bulan, sayang sekali jika awal pemerintahannya tercoreng keputusan yang tidak sahih. Kami berkeyakinan beliau mendapat informasi yang tidak valid,” katanya.

Muhtar juga mengungkapkan bahwa hasil evaluasi kinerja Direksi dari lembaga seperti BPKP dan BPPSPAM menunjukkan kondisi PDAM dalam kategori “baik” dan “sehat”. Hal ini semakin menguatkan argumen bahwa pemberhentian tersebut tidak memiliki dasar yang kuat.

“Apa dasar pemberhentian ini kalau bukan tindakan sewenang-wenang? Jika diukur dari tujuh indikator kinerja yang diatur Pasal 65 ayat (2) PP Nomor 54 Tahun 2017, klien kami masih memenuhi semua aspek,” papar Muhtar.

Pelanggaran Etika dan Moral Administrasi

Muhtar menilai keputusan Wali Kota Semarang telah melanggar Etika Kehidupan Berbangsa sebagaimana tertuang dalam TAP MPR No. VI/MPR/2001, karena dinilai tidak menghormati harkat dan martabat sesama.

“Ibu Wali Kota telah bertindak tidak patut dan tidak adil dalam memperlakukan klien kami. Ini pelanggaran etika sekaligus moral administrasi,” katanya.

Ia menegaskan bahwa Direksi PDAM Tirta Moedal masih menjalankan tugas seperti biasa karena SK pemberhentian belum dicabut secara hukum.

Penolakan Penunjukan Plt Direksi

Muhtar juga mengkritik penunjukan Pelaksana Tugas (Plt) Direksi yang dilakukan saat proses keberatan masih berlangsung. Ia menilai hal ini sebagai bentuk pembangkangan hukum.

“Kalau sudah ada Plt padahal keberatan belum selesai, apa itu bukan pelanggaran serius terhadap hukum administrasi?” katanya.

Proses Pemberitahuan yang Tidak Patut

Muhtar menyebut proses pemberhentian berlangsung secara tidak patut dan tidak beradab karena dilakukan secara mendadak tanpa pemberitahuan yang layak.

“Pemberitahuan SK hanya dikirim lewat WhatsApp satu jam sebelum penyerahan resmi. Ini cacat moral, cacat hukum, dan mencederai etika pemerintahan,” tegasnya.

Muhtar berharap Wali Kota Agustina Wilujeng dapat segera menyadari kekeliruan dan mencabut SK pemberhentian tersebut.

“Semoga Ibu Wali Kota berkenan memperbaiki kekhilafan ini. Kami ingin menyelesaikan ini secara bermartabat dan sesuai hukum,” pungkasnya.

Dapatkan Berita Terupdate dari INDObrita di:
PASANG IKLAN ANDA DISINI