Kredit Mahal, Perusahaan Indonesia Berbondong Terbitkan Obligasi

Kredit Mahal Perusahaan Indonesia Berbondong Terbitkan Obligasi scaled

Pertumbuhan kredit perbankan di Indonesia pada Juli 2025 tercatat hanya 7,03 persen secara tahunan (YoY), menurun dari 7,77 persen YoY pada bulan sebelumnya. Hal ini menunjukkan perlambatan yang signifikan dalam sektor keuangan, sebuah tren yang perlu mendapat perhatian serius. Analisis lebih lanjut menunjukkan beberapa faktor penyebab penurunan ini.

Salah satu contoh penurunan kredit terlihat pada Citi Indonesia. Penyaluran kredit korporasi mereka turun drastis sebesar 13,36 persen di kuartal II 2025, dari Rp 31,93 triliun menjadi Rp 27,67 triliun. CEO Citi Indonesia, Batara Sianturi, menjelaskan penyebab utama penurunan ini.

“The biggest driver daripada penurunan itu karena ada loan yang tidak di-rollover (diperpanjang). Karena nasabah meluncurkan bond, nggak perlu lagi loan,” ujar Batara Sianturi. Artinya, beberapa perusahaan besar lebih memilih menerbitkan obligasi (bond) daripada memperpanjang pinjaman mereka. Strategi ini lebih menguntungkan bagi perusahaan yang bersangkutan.

Penurunan kredit ini tidak hanya terjadi di sektor korporasi. Pelunasan kredit tanpa perpanjangan juga terjadi di berbagai sektor lain, termasuk pertambangan, manufaktur, dan pertanian. Meskipun demikian, Sianturi melihat beberapa hal positif.

“Jadi, is essentially one timer di sektor mining. Kita melihat juga positif update di sektor manufacturing dan juga di sektor agriculture,” tambahnya. Ia menyiratkan bahwa penurunan kredit di sektor pertambangan bersifat sementara, sementara sektor manufaktur dan pertanian menunjukkan perkembangan yang positif.

Citi Indonesia, meskipun mengalami penurunan penyaluran kredit, berhasil menurunkan rasio kredit macet (NPL) gross dari 3,39 persen menjadi 0,2 persen. Penurunan ini disebabkan oleh penghapusan kredit yang telah diprovisikan dan tidak berdampak pada profitabilitas bank. Ini menunjukkan manajemen risiko yang baik.

Di sisi lain, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, dalam rapat dewan gubernur (RDG) pada Rabu (19/8), menjelaskan bahwa perlambatan kredit juga dipengaruhi oleh sikap hati-hati perbankan dalam menyalurkan kredit.

“Dari sisi penawaran, perilaku perbankan cenderung berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Tecermin dari standar penyaluran kredit (lending standard) yang meningkat. Perbankan lebih memilih menempatkan kelebihan likuiditas pada surat-surat berharga,” kata Perry Warjiyo. Perbankan lebih memilih investasi yang lebih aman daripada mengambil risiko penyaluran kredit.

Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang mencapai 7 persen YoY di bulan Juli 2025, didorong oleh ekspansi keuangan pemerintah, turut mendukung likuiditas perbankan. Namun, hal ini belum cukup untuk mendorong pertumbuhan kredit secara signifikan.

Permintaan kredit sendiri lebih banyak berasal dari sektor berorientasi ekspor, seperti pertambangan, perkebunan, transportasi, industri, dan jasa sosial. Sementara itu, permintaan dari sektor lain masih lemah.

“Secara keseluruhan, perlambatan kredit mencerminkan permintaan dari pelaku usaha yang belum kuat dan cenderung menggunakan pembiayaan internal bagi usahanya,” jelas Perry Warjiyo. Kondisi ekonomi makro yang masih belum sepenuhnya pulih menjadi faktor penghambat pertumbuhan kredit.

Secara keseluruhan, perlambatan pertumbuhan kredit di Indonesia merupakan fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari strategi perusahaan dalam mengelola pembiayaan hingga kebijakan perbankan yang lebih konservatif. Penting bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk terus memantau dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Analisis lebih mendalam terhadap faktor-faktor mikro dan makro ekonomi perlu dilakukan untuk merumuskan solusi yang efektif.

Dapatkan Berita Terupdate dari INDObrita di:
PASANG IKLAN ANDA DISINI