Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengirimkan siswa tertentu ke barak militer, termasuk mereka yang terindikasi LGBT, telah menuai banyak kritik. Langkah ini dianggap sebagai pendekatan yang keliru dalam menangani permasalahan siswa bermasalah.
Khairul Fahmi, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), mengungkapkan keprihatinannya. Menurutnya, mengirim siswa ke barak militer bukanlah cara yang tepat untuk membina siswa yang bermasalah, termasuk mereka yang terindikasi LGBT. Pendekatan ini dinilai tidak mendidik dan justru kontraproduktif.
Fahmi menekankan bahwa pendidikan di Indonesia seharusnya demokratis, inklusif, dan non-diskriminatif, sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan yang berbasis paksaan dan diskriminatif jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut.
Ia memberikan contoh SMA Taruna Nusantara yang berhasil mengintegrasikan nilai-nilai kedisiplinan dan kepemimpinan ala militer. Namun, keberhasilannya terletak pada kesukarelaan siswa untuk mengikuti program tersebut, bukan karena dipaksa atau karena dianggap “bermasalah”.
Kritik Terhadap Sekuritisasi Kebijakan Sosial
Fahmi menyebut kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi sebagai sekuritisasi kebijakan sosial yang keliru. Semua permasalahan sosial tidak seharusnya langsung dikaitkan dengan gangguan ketertiban umum. Pendekatan yang tepat adalah edukasi, bukan penindakan represif.
Menarik siswa ke barak militer, terutama berdasarkan indikasi orientasi seksual, berpotensi mencederai hak anak dan mengikis kepercayaan pada institusi pendidikan. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan siswa.
Alih-alih mengucilkan siswa bermasalah, sekolah seharusnya memberikan pendampingan, fasilitasi, dan arahan yang tepat. Perlu peningkatan kapasitas sekolah agar mampu menjadi ruang yang memulihkan, bukan malah memperparah situasi.
Peran Militer dalam Pendidikan: Edukatif dan Suportif
Fahmi mengakui bahwa pelibatan militer dalam pendidikan bisa positif, asalkan bersifat edukatif, proporsional, dan suportif. Contohnya adalah pelatihan karakter, motivasi, atau program patriotisme yang terintegrasi dalam kurikulum.
Namun, ia mempertanyakan kesesuaian langkah Gubernur Dedi Mulyadi mengingat isu LGBT masih menjadi tantangan internal yang kompleks di lingkungan militer sendiri. Menggunakan pendekatan yang terburu-buru dan kurang tepat dapat menimbulkan dampak negatif yang lebih besar.
Pendekatan instan seperti mengirim siswa ke barak militer justru akan memperparah stigma negatif, menormalisasi diskriminasi, dan menghambat fungsi pendidikan sebagai ruang pembentukan manusia seutuhnya. Menciptakan manusia yang merdeka, bermartabat, dan berkepribadian membutuhkan pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan.
Alternatif Pendekatan yang Lebih Baik
Sebagai alternatif, perlu dikembangkan program pembinaan yang lebih komprehensif dan berbasis sekolah. Program ini bisa melibatkan konselor, psikolog, dan tenaga profesional lainnya untuk memberikan dukungan dan bimbingan yang dibutuhkan siswa.
Selain itu, perlu ada peningkatan kesadaran dan pemahaman tentang isu LGBT di kalangan guru dan staf sekolah. Sekolah perlu menciptakan lingkungan yang inklusif dan bebas diskriminasi, di mana semua siswa merasa aman dan dihargai.
Membangun sistem pendukung yang kuat di sekolah akan jauh lebih efektif daripada pendekatan represif yang hanya akan menimbulkan trauma dan memperburuk masalah. Membutuhkan komitmen dan kerja keras dari semua pihak untuk mewujudkan sistem pendidikan yang benar-benar berpihak pada anak.
Tinggalkan komentar