Pemerintah Provinsi DKI , di bawah kepemimpinan Gubernur Pramono Anung, berencana memasang kamera pengawas (CCTV) di seluruh lingkungan permukiman warga. Langkah ini diklaim menekan angka kriminalitas dan mempercepat identifikasi pelaku kejahatan. Namun, rencana ambisius ini menuai kontroversi.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mengkritik keras rencana tersebut, mengingatkan potensi pelanggaran serius terhadap hak privasi warga. Pemasangan CCTV yang menjangkau area privat warga dinilai dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dan ketakutan yang signifikan.

Alif Fauzi Nurwidiastomo, pengacara publik LBH Jakarta, menyatakan keprihatinannya. Ia menjelaskan bahwa pengawasan konstan melalui CCTV dapat menciptakan lingkungan yang penuh keresahan dan mengurangi rasa aman warga. Pemantauan terus-menerus tanpa persetujuan yang jelas, menurutnya, merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

Meskipun mengakui niat baik Pemprov DKI dalam menurunkan angka kejahatan, LBH Jakarta menekankan pentingnya kepatuhan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. UU ini memberikan hak-hak penting kepada warga, termasuk hak akses dan koreksi data pribadi, penarikan persetujuan pemrosesan data, serta hak mengajukan keberatan dan tuntutan ganti rugi atas penyalahgunaan data.

Perlindungan Hak Privasi Warga: Titik Krusial

LBH Jakarta mendesak agar Pemprov DKI Jakarta melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses perencanaan dan pelaksanaan proyek CCTV ini. Partisipasi warga sangat penting, mulai dari penentuan lokasi pemasangan hingga penyusunan mekanisme perlindungan data yang komprehensif. Sanksi bagi penyalahgunaan data rekaman CCTV juga perlu didefinisikan dengan jelas.

Lebih jauh, mekanisme pengawasan independen terhadap penggunaan data rekaman CCTV perlu dibentuk. Hal ini untuk memastikan data tersebut hanya digunakan untuk tujuan penegakan hukum dan tidak disalahgunakan untuk tujuan lain, misalnya untuk mengawasi kegiatan pribadi warga.

Tiga Poin Penting yang Harus Diperhatikan:

  • Transparansi: Pemprov DKI harus transparan dalam menjelaskan detail teknis proyek CCTV, termasuk spesifikasi kamera, jangkauan cakupan, dan sistem penyimpanan data.
  • Akuntabilitas: Mekanisme akuntabilitas yang jelas perlu diterapkan untuk memastikan data rekaman CCTV digunakan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan aturan hukum.
  • Partisipasi Publik: Pemprov DKI wajib melibatkan masyarakat secara bermakna dalam setiap tahap proyek, memastikan suara dan kekhawatiran warga didengar dan dipertimbangkan.
  • Gubernur Pramono Anung menyatakan bahwa proyek CCTV ini merupakan bagian dari janji kampanye Pilkada 2024. Ia menekankan kemudahan pelaksanaan proyek ini dibandingkan program lain seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP). Namun, pernyataan ini tidak cukup untuk mengatasi kekhawatiran publik tentang implikasi proyek ini terhadap hak-hak asasi manusia.

    Menyeimbangkan Keamanan Publik dan Hak Asasi Manusia

    Perdebatan mengenai proyek CCTV ini menyoroti tantangan dalam menyeimbangkan keamanan publik dan hak asasi manusia. Pemasangan CCTV skala besar memang dapat membantu menekan kejahatan, tetapi harus diimbangi dengan perlindungan hak privasi warga. Kegagalan dalam hal ini akan berdampak serius pada kepercayaan publik terhadap pemerintah.

    Alternatif lain yang perlu dipertimbangkan adalah penggunaan teknologi yang lebih terarah dan meminimalkan dampak terhadap privasi, seperti teknologi pengenalan wajah yang hanya aktif di lokasi-lokasi tertentu yang rawan kejahatan. Hal ini perlu disertai dengan regulasi yang ketat dan pengawasan yang efektif.

    Ke depan, suksesnya proyek ini bergantung pada komitmen Pemprov DKI Jakarta dalam melindungi hak privasi warga. Prioritas utama seharusnya adalah menciptakan rasa aman bagi seluruh warga Jakarta, tanpa mengorbankan hak-hak fundamental mereka.