Bupati Jepara, Witiarso Utomo atau Wiwit, secara tegas menolak izin pembangunan peternakan babi di wilayahnya. Penolakan ini didasarkan pada pertimbangan religius dan fatwa ulama, mengingat Jepara sebagai daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Keputusan ini diambil setelah munculnya kabar minat investor untuk membangun peternakan babi skala besar di Jepara.
Reaksi penolakan muncul dari berbagai kalangan keagamaan, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdlatul Ulama (NU). Mereka menilai pembangunan peternakan babi bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan masyarakat Jepara. Hal ini diperkuat dengan hasil Bahtsul Masa’il PCNU Jepara yang merekomendasikan penolakan terhadap rencana tersebut.
Dalam acara Sosialisasi Hasil Bahtsul Masa’il di Gedung PCNU Jepara, Bupati Wiwit menegaskan komitmennya. “Setiap kebijakan, termasuk investasi, harus sejalan dengan dawuh kiai dan fatwa dari MUI. Jika tidak ada persetujuan dari MUI, NU, dan tokoh agama lain, kami tidak akan keluarkan izin,” tegas Bupati Wiwit. Pernyataan ini menekankan pentingnya harmoni antara pembangunan ekonomi dan nilai-nilai religius masyarakat.
Bahtsul Masa’il PCNU Jepara menghasilkan Surat Keputusan Nomor 36/PC.01/A.II.01.03/1416/08/2025. Surat keputusan ini berisi tiga rekomendasi utama. Pertama, penolakan izin pembangunan peternakan babi atau usaha yang bertentangan dengan kultur religius. Kedua, mendorong kebijakan yang menyejahterakan dunia dan akhirat. Ketiga, mengembangkan potensi ekonomi dari sumber halal dan legal.
Surat keputusan tersebut ditandatangani oleh sejumlah ulama berpengaruh di Jepara, termasuk Rais Syuriah KH Khayatun Abdullah Hadziq, Katib Syuriah KH M. Nasrullah Huda, Ketua Tanfidziyah KH Charis Rohman, dan Sekretaris KH Ahmad Sahil. Surat keputusan tersebut juga disampaikan kepada PBNU dan PWNU Jateng, menunjukkan dukungan luas terhadap penolakan ini.
Meskipun investor menawarkan potensi retribusi dan Corporate Social Responsibility (CSR) yang besar, mencapai ratusan miliar rupiah per tahun, Bupati Wiwit tetap teguh pada pendiriannya. “Investornya menyampaikan rencana impor indukan babi dengan kapasitas produksi 2–3 juta ekor per tahun. Retribusi yang masuk ke pemkab Rp 300 ribu per ekor, ditambah CSR Rp 50–100 miliar,” ungkap Bupati Wiwit. Namun, nilai ekonomi tersebut tidak mengalahkan prioritas nilai-nilai religius masyarakat Jepara.
Bupati Wiwit menjelaskan bahwa sejak awal Pemkab Jepara telah menetapkan syarat ketat bagi calon investor. Jepara sebagai daerah religius, lebih mengutamakan petuah dan fatwa para ulama agar setiap kebijakan tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan masyarakat. “Jepara adalah daerah religius. Kami lebih memilih mendengarkan petuah dan fatwa kiai agar setiap kebijakan tidak melukai nilai-nilai keagamaan masyarakat,” tegas Bupati Wiwit.
Keputusan Bupati ini menunjukkan komitmen pemerintah daerah dalam menghargai dan melindungi sentimen keagamaan warganya. Ini juga menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak selalu harus mengorbankan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat. Model pembangunan yang berkelanjutan harus mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan budaya secara seimbang. Kasus ini menjadi contoh bagaimana pemerintah daerah dapat menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan nilai-nilai keagamaan masyarakat.