DPR Desak Pemerintah Tunda Kenaikan Pajak: Rakyat Sedang Terbebani

DPR Desak Pemerintah Tunda Kenaikan Pajak Rakyat Sedang Terbebani

Badan Anggaran (Banggar) DPR RI memperingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam merumuskan kebijakan penerimaan negara, khususnya di sektor perpajakan. Peningkatan target penerimaan pajak dalam RAPBN 2026 tidak boleh dicapai dengan menaikkan tarif pajak, mengingat kondisi ekonomi rakyat saat ini. Hal ini ditekankan oleh Ketua Banggar DPR, Said Abdullah.

Said Abdullah menjelaskan pentingnya memperluas basis pajak, bukan membebani rakyat. Strategi yang lebih efektif adalah dengan mendorong pertumbuhan usaha dan menciptakan lebih banyak pelaku usaha baru. Dengan demikian, penerimaan pajak meningkat tanpa menaikkan beban masyarakat. “Pimpinan Banggar mendukung kenaikan penerimaan perpajakan. Namun, kami mengingatkan pemerintah agar tidak menaikkan tarif pajak, apalagi kondisi perekonomian rakyat tidak baik-baik saja. Jangan sampai Ditjen Pajak berburu di kebun binatang, tetapi harus memperluas kebun binatang,” ujar Said Abdullah.

Pemerintah menargetkan pendapatan negara pada RAPBN 2026 sebesar Rp 3.147,7 triliun, naik Rp 282,2 triliun dari target tahun 2025. Penerimaan perpajakan menjadi kontributor terbesar, ditargetkan naik dari Rp 2.387,3 triliun pada 2025 menjadi Rp 2.692 triliun di tahun 2026. Kenaikan ini perlu dikaji lebih dalam untuk memastikan keberlanjutan dan keadilannya.

Namun, rencana penurunan drastis Dana Transfer ke Daerah dan Desa (TKDD) dari Rp 919 triliun pada 2025 menjadi Rp 650 triliun di RAPBN 2026 menimbulkan kekhawatiran. Penurunan ini berpotensi menghambat pelayanan publik di daerah dan memaksa pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang berisiko membebani rakyat, misalnya dengan menaikkan pajak daerah. “Ini bisa memaksa pemerintah daerah membuat kebijakan baru yang rentan menaikkan perpajakan daerah, dan ujungnya membebani rakyat,” tegas Said Abdullah.

Integrasi kebijakan fiskal dan moneter menjadi sangat penting dalam menghadapi dinamika geopolitik global. Kebijakan yang diterapkan harus fleksibel, responsif, dan mampu mengatasi masalah ekonomi tanpa menimbulkan ketidakpastian di kalangan pelaku usaha. Kejelasan dan konsistensi kebijakan sangat krusial untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Banggar juga meminta pemerintah untuk memperbarui data kemiskinan, sejalan dengan perubahan angka Purchasing Power Parity (PPP) yang dikeluarkan Bank Dunia. Pembaruan data ini sangat penting untuk memastikan kebijakan penanggulangan kemiskinan lebih tepat sasaran dan efektif.

Program-program besar pemerintah seperti MBG, Koperasi Merah Putih, dan Sekolah Rakyat harus benar-benar efektif dalam memperbaiki perilaku dan kesejahteraan rakyat. Keberhasilan program-program tersebut sangat bergantung pada tata kelola yang akuntabel, transparan, dan partisipatif, sehingga tidak terjadi pemborosan sumber daya. “Jangan sampai kita wasting time dan kehilangan sumber daya sia-sia. Kuncinya ada pada tata kelola yang akuntabel, transparan, dan partisipatif,” pungkas Said Abdullah.

Lebih lanjut, perlu dipertimbangkan dampak inflasi dan daya beli masyarakat terhadap target penerimaan pajak. Analisis yang komprehensif diperlukan untuk memastikan target tersebut realistis dan tidak merugikan masyarakat. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan dampak kebijakan terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia.

Sebagai tambahan, transparansi dalam pengumpulan dan penggunaan dana pajak sangat penting untuk membangun kepercayaan publik. Masyarakat perlu mengetahui bagaimana pajak yang mereka bayarkan digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan negara. Hal ini dapat mencegah potensi penyalahgunaan dan meningkatkan kepatuhan pajak.

Dapatkan Berita Terupdate dari INDObrita di:
PASANG IKLAN ANDA DISINI