Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap praktik korupsi dalam pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) Bank Rakyat Indonesia (BRI) periode 2020-2024. Dugaan kecurangan melibatkan dua perusahaan, PT Bringin Inti Teknologi (BRI IT) dan PT Pasific Cipta Solusi (PCS), yang diduga memenangkan tender dengan cara-cara tidak sah.
BRI IT, anak perusahaan Dana Pensiun BRI, menjadi pemenang tender pengadaan EDC Android BRI baik secara beli putus (2020-2023) maupun skema sewa (FMS) 2020-2024. Mereka memasok mesin EDC merek Verifone. Sementara PT PCS memasok mesin EDC merek Sunmi, produk dari PT Samafitro.
Direktur Utama BRI IT periode 2020-2024, Rudy Suprayudi Kartadidjaja, sebelumnya menjabat sebagai Risk Manager Group Head di Bank BRI. Keterkaitan ini menimbulkan pertanyaan mengenai potensi konflik kepentingan dalam proses tender.
Modus Operandi Korupsi Pengadaan Mesin EDC BRI
KPK menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses pengadaan. Salah satunya adalah manipulasi proses Proof of Concept (POC) atau uji kelayakan teknis. Hanya dua merek EDC Android, Verifone dan Sunmi, yang diikutsertakan dalam POC tahun 2019, meskipun ada merek lain seperti Nira, Ingenico, dan Pax.
Indra Utoyo (mantan Direktur Digital, Teknologi Informasi & Operasi BRI) diduga menginstruksikan agar Verifone dan Sunmi diprioritaskan dalam POC. Hal ini diduga untuk menguntungkan BRI IT dan PCS. Proses POC sendiri tidak dilakukan secara transparan dan terbuka.
Selain itu, Catur Budi Harto (mantan Wakil Direktur Utama BRI) diduga memerintahkan perubahan dalam dokumen tender (TOR annex 2), membatasi waktu uji teknis menjadi satu hingga dua bulan. Langkah ini diduga untuk mempersempit peluang bagi vendor lain.
Manipulasi Harga dan Subkontrak
KPK juga menemukan dugaan manipulasi Harga Perkiraan Sendiri (HPS). HPS diduga menggunakan data harga dari vendor yang sudah “dikondisikan” untuk menang tender, yaitu BRI IT dan PCS, bukan dari prinsipal (produsen asli mesin EDC).
Setelah memenangkan tender, BRI IT dan PCS diduga melakukan subkontrak pekerjaan FMS (Full Managed Service) kepada pihak lain tanpa persetujuan BRI. Hal ini mengakibatkan kerugian negara dan pembengkakan biaya.
Irni Palar (PT Verifone Indonesia) memberikan fee kepada Rudy Suprayudi Kartadidjaja sebesar Rp5.000 per unit per bulan atas pekerjaan FMS. Totalnya mencapai Rp10,9 miliar hingga tahun 2024.
Rudy Suprayudi Kartadidjaja juga menerima Rp19,72 miliar dari Irni Palar dan Teddy Riyanto (Account Manager PT Verifone Indonesia) untuk pekerjaan BRILink dan FMS. Catur Budi Harto diduga menerima suap berupa sepeda dan kuda senilai Rp525 juta, sementara Dedi Sunardi menerima sepeda senilai Rp60 juta.
Tersangka dan Kerugian Negara
KPK menetapkan lima tersangka: Catur Budi Harto, Indra Utoyo, Dedi Sunardi, Elvizar (PT Pasific Cipta Solusi), dan Rudy Suprayudi Kartadidjaja. Kelima tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 dan Pasal 18 UU Tipikor.
Kerugian negara ditaksir mencapai Rp744 miliar, berdasarkan selisih harga pembelian dari vendor dengan harga langsung dari prinsipal. Total anggaran pengadaan mencapai Rp2,1 triliun.
Dua pengadaan yang diduga bermasalah adalah pengadaan EDC BRIlink (Rp942,79 miliar, 346.838 unit) dan pengadaan FMS EDC (Rp1,26 triliun, 200.067 unit).
Meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka, kelima orang tersebut belum ditahan.
Kasus ini menunjukkan betapa rumit dan sistematisnya praktik korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa di Indonesia. Perlu ada peningkatan pengawasan dan transparansi untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Penting juga untuk memperkuat penegakan hukum agar memberikan efek jera kepada pelaku korupsi.
Tinggalkan komentar