Kebijakan proteksionis Amerika Serikat (AS) yang semakin agresif mulai memberikan dampak signifikan terhadap mitra dagangnya, khususnya negara-negara dengan orientasi ekspor yang kuat seperti Korea Selatan. Dampaknya paling terasa di sektor otomotif, yang merupakan pilar penting perekonomian Korsel.
Data perdagangan Korea Selatan menunjukkan penurunan nilai ekspor secara keseluruhan pada 20 hari pertama April 2025 sebesar 5,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan yang lebih drastis terjadi pada sektor otomotif, dengan ekspor mobil merosot hingga 6,5%. Ini merupakan konsekuensi langsung dari tarif impor baru AS sebesar 25% terhadap kendaraan dan suku cadang otomotif yang diberlakukan sejak awal April 2025.
Dampak Tarif Impor AS terhadap Industri Otomotif Korea Selatan
Tarif impor ini merupakan bagian dari strategi “America First” pemerintahan AS yang bertujuan untuk mengurangi defisit perdagangan. Korea Selatan, dengan surplus perdagangan sebesar USD 55,7 miliar terhadap AS pada tahun 2024, menjadi target utama kebijakan ini. Hal ini sangat memprihatinkan karena hampir separuh dari total ekspor kendaraan Korea Selatan senilai USD 70,8 miliar pada tahun 2024 ditujukan ke pasar AS.
Ketergantungan yang tinggi terhadap pasar AS membuat industri otomotif Korea Selatan sangat rentan terhadap kebijakan proteksionis ini. Para pelaku industri di Korsel kini menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian, dengan ancaman pemangkasan produksi dan pemutusan hubungan kerja yang mengintai. Analis industri dari Korea Autor Trade Institute, Park Jin-ho, bahkan menyebut tarif ini sebagai “pukulan telak”.
Respon Pemerintah Korea Selatan
Menanggapi situasi ini, pemerintah Korea Selatan mengambil langkah cepat. Menteri Perindustrian Ahn Duk-geun dan Menteri Keuangan Choi Sang-mok dijadwalkan terbang ke Washington untuk bernegosiasi perjanjian perdagangan baru dengan AS. Namun, negosiasi ini dibayangi oleh waktu yang semakin sempit menjelang pemilihan presiden Korsel pada 3 Juni 2025.
Posisi tawar AS yang kuat, mengingat kebutuhan Korea Selatan akan pasar AS, membuat negosiasi ini penuh tantangan. Seorang pejabat senior Kementerian Perindustrian Korsel menyatakan bahwa meskipun mereka tidak bisa menerima tarif ini begitu saja, AS menyadari pentingnya pasar AS bagi Korsel. Ini menunjukkan betapa sulitnya posisi Korsel dalam negosiasi ini.
Dampak Makro Ekonomi
Dampak kebijakan proteksionis AS tidak hanya terbatas pada sektor otomotif. Bank Sentral Korea (BoK) telah memperingatkan adanya risiko pertumbuhan ekonomi negatif pada kuartal pertama 2025, menunjukkan melemahnya momentum ekspor secara keseluruhan. Gubernur BoK, Rhee Chang-yong, menyatakan bahwa tarif impor AS semakin memperumit dinamika perdagangan global dan meningkatkan risiko perlambatan ekonomi di Korea Selatan.
Situasi ini memperlihatkan betapa rentannya perekonomian negara-negara yang sangat bergantung pada ekspor terhadap kebijakan proteksionisme negara-negara besar. Ketidakpastian politik di dalam negeri Korsel juga menambah kompleksitas dalam menghadapi tantangan ekonomi ini. Ke depan, diperlukan strategi yang lebih diversifikasi untuk mengurangi ketergantungan pada pasar tunggal dan memperkuat daya saing industri dalam negeri.
Selain sektor otomotif, perlu juga diperhatikan dampaknya terhadap sektor lain seperti elektronik dan teknologi informasi yang juga memiliki ekspor yang signifikan ke AS. Analisis yang lebih mendalam terhadap rantai pasokan global juga diperlukan untuk mengantisipasi dampak jangka panjang dari kebijakan proteksionisme ini. Studi lebih lanjut mengenai diversifikasi pasar ekspor dan peningkatan daya saing produk Korsel sangat krusial untuk masa depan perekonomian negara ini.