Rangkaian bencana alam yang melanda belakangan ini, dipicu oleh krisis lingkungan, seharusnya menjadi pengingat keras bagi bangsa Indonesia. Kondisi darurat lingkungan ini mendesak perlunya pengakuan konstitusional yang lebih kuat.
Pakar dari Human Studies Institute (HSI), Dr. Rasminto, menekankan urgensi memasukkan hak atas lingkungan hidup yang baik, sehat, dan berkeadilan secara eksplisit ke dalam Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pandangan ini disampaikannya saat Forum Group Discussion (FGD) Kelompok I Badan Pengkajian MPR RI bertema “Kedaulatan Rakyat Perspektif Demokrasi Pancasila” di Tangerang.
Perlindungan Lingkungan Masih Lemah dalam Konstitusi
Meskipun amandemen UUD 1945 pada periode 1999–2002 telah membawa kemajuan signifikan dalam sistem politik dan ketatanegaraan, perlindungan terhadap lingkungan hidup masih dirasa belum mendapatkan jaminan konstitusional yang kokoh.
“Musibah bencana alam yang terjadi pada akhir November 2025, khususnya di wilayah Sumatera, menunjukkan bahwa persoalan lingkungan hidup sudah berada pada level darurat. Ini harus menjadi pertimbangan serius dalam arah amandemen UUD ke depan,” tegas Dr. Rasminto.
Hak Lingkungan sebagai Fondasi Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pencantuman hak lingkungan dalam konstitusi dipandang sebagai landasan penting. Tujuannya adalah agar pengelolaan sumber daya alam tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi jangka pendek, tetapi juga memastikan keberlanjutan untuk generasi mendatang.
Dr. Rasminto menambahkan bahwa penguatan hak lingkungan harus berjalan beriringan dengan penguatan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat merupakan ruh dari demokrasi Pancasila.
Masyarakat, menurutnya, adalah pihak yang paling merasakan dampak dari kerusakan lingkungan dan lemahnya tata kelola sumber daya alam.
“Demokrasi tidak boleh hanya berhenti pada prosedur politik. Ia harus melindungi hak hidup rakyat, termasuk hak atas lingkungan yang layak dan berkeadilan,” ujarnya.
Tumpang Tindih Regulasi dan Kebutuhan Reformasi Menyeluruh
Dalam paparannya, Dr. Rasminto juga menyoroti kompleksitas tumpang tindih regulasi di Indonesia. Sejak 2019 hingga 2025, Mahkamah Konstitusi menerima 125 permohonan judicial review undang-undang, mayoritas berkaitan dengan omnibus law.
“Angka ini menunjukkan regulasi kita belum tuntas dan masih membuka ruang instabilitas hukum maupun politik, termasuk dalam perlindungan lingkungan,” jelasnya.
Selain aspek lingkungan, ia menegaskan perlunya pembenahan menyeluruh terhadap sistem pemilu, partai politik, dan transparansi pendanaan politik. Langkah ini krusial untuk mencegah dominasi oligarki yang seringkali mengabaikan kepentingan rakyat dan kelestarian lingkungan.
“Tujuan bernegara adalah memakmurkan rakyat secara adil. Konstitusi harus memastikan negara berjalan simetris, tidak elitis, dan berpihak pada rakyat serta kelestarian lingkungan,” pungkasnya.