Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, atau yang dikenal dengan Whoosh, kembali menjadi pusat perhatian publik. Di balik kebanggaan akan kemajuan teknologi transportasi yang membanggakan Indonesia, kini muncul sorotan tajam terkait tanggung jawab atas beban utang yang membayangi proyek tersebut.
Polemik ini mencuat setelah pernyataan ekonom Faisal Basri yang memperkirakan masa balik modal proyek bisa mencapai lebih dari tiga dekade. Pandangan ini memicu kekhawatiran baru tentang keberlanjutan finansial proyek ambisius ini. Selain itu, muncul pertanyaan krusial mengenai dampak beban utang terhadap keuangan negara dan generasi mendatang. Kenaikan harga tiket yang terus terjadi juga menambah kerumitan, dengan pertanyaan apakah kereta cepat ini akan mampu memberikan keuntungan nyata bagi negara.
Sorotan Terhadap Beban Utang dan Potensi Kerugian
Akbar Faizal, seorang politisi, turut menyoroti pernyataan Faisal Basri. Ia menekankan bahwa perkiraan masa balik modal yang mencapai 33 tahun adalah waktu yang terlalu lama untuk sebuah investasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang nilai ekonomis proyek tersebut dalam jangka panjang.
Menanggapi hal ini, pengamat ekonomi dan kebijakan publik, Agus Pambagio, mengurai berbagai persoalan yang selama ini tersembunyi di balik proyek ambisius era Presiden Joko Widodo. Ia menyoroti perubahan arah proyek dari Jepang ke China yang menjadi titik krusial.
Perubahan Arah Proyek dan Dampaknya
Agus Pambagio menjelaskan bahwa Jepang awalnya menawarkan skema bunga pinjaman 0,1 persen dengan sistem antar pemerintah. Namun, Presiden Jokowi memilih untuk melanjutkan proyek melalui Kementerian BUMN yang kemudian menggandeng investor China.
Peralihan ini terjadi setelah Menteri Perhubungan saat itu, Ignasius Jonan, menolak tawaran Jepang karena menilai proyek kereta cepat belum menjadi prioritas nasional. Keputusan ini membuka jalan bagi investor China. Menurut Pambagio, Presiden sendiri yang memutuskan perubahan arah proyek dari Jepang ke China.
Perubahan ini membawa konsekuensi besar. Skema pinjaman antar negara berubah menjadi model bisnis B2B atau business to business. Dalam sistem ini, negara tidak diperbolehkan memberi subsidi langsung, meskipun beban bunga dan risiko finansial tetap menjadi tanggungan negara.
Skema Bunga, B2B, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Harun Ar Rasyid, pakar transportasi dan anggota tim asistensi awal proyek Whoosh, membantah tudingan bahwa dirinya yang mengubah bunga proyek dari 0,1 persen menjadi 2 persen. Ia menegaskan bahwa kesepakatan mengenai bunga dibuat setelah China memenangkan proyek.
Harun menilai bahwa keputusan pemerintah menggunakan skema B2B menjadi akar masalah. Dalam sistem ini, investor asing menanamkan modal hingga 40 persen. Akibatnya, negara tidak memiliki kewenangan penuh dalam mengatur pembiayaan, sebagaimana dalam proyek G2G.
“Memilih B2B inilah yang ngawur kalau menurut saya. Karena sekarang sebetulnya kereta cepat ini masih tahap awal, baru seperlima mimpi. Mimpi kita sampai Surabaya,” jelas Harun.
Beban Lahan dan Subsidi Transportasi
Harun juga menyinggung soal biaya pembebasan lahan yang menjadi salah satu penyebab membengkaknya biaya proyek. Ia menjelaskan bahwa pada proyek jalan tol, pembebasan lahan dibiayai negara, sementara pada proyek kereta cepat, biaya tersebut ditanggung oleh perusahaan pelaksana.
“Kalau jalan tol, tanahnya dibayar negara. Kalau kereta cepat, perusahaan yang bayar. Angkanya bisa 15 triliun. Harusnya ini bisa diatur ulang,” kata Harun.
Harun menambahkan, subsidi di sektor transportasi publik bukanlah hal baru. Pemerintah telah menggelontorkan lebih dari 10 triliun rupiah per tahun untuk subsidi MRT, BRT, dan LRT di Jabodetabek yang melayani jutaan penumpang setiap hari. Namun, kereta cepat yang menyasar kalangan menengah ke atas menimbulkan dilema antara kebanggaan nasional dan efisiensi fiskal.
Pertanggungjawaban dan Transparansi dalam Proyek Whoosh
Kontroversi yang kini melanda proyek Whoosh menunjukkan perlunya kejelasan tanggung jawab atas keputusan politik di masa lalu. Keputusan yang kini dianggap membebani publik. Akbar Faizal menekankan pentingnya pertanggungjawaban.
“Tidak adil bagi anak-anak bangsa ini, cucu-cucu kita, menanggung beban sebesar ini hanya karena dulu tidak ada yang berani bersuara,” tegas Akbar Faizal.
Pada akhirnya, akar persoalan Whoosh bukan hanya pada utang atau bunga pinjaman, tetapi juga pada keputusan kebijakan dan model pembiayaan yang sejak awal dinilai kurang transparan.