Pemeriksaan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak di tubuh Pertamina oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) menjadi sorotan publik. Perbedaan signifikan dalam estimasi kerugian negara yang diungkapkan pada awal penyelidikan dibandingkan dengan surat dakwaan menimbulkan pertanyaan serius. Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, menyoroti besarnya selisih tersebut yang berpotensi memicu spekulasi dan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
Perbedaan angka kerugian yang mencolok ini menjadi perhatian utama. Pada awalnya, Kejagung mengindikasikan kerugian mencapai Rp968,5 triliun atau bahkan lebih. Namun, dalam surat dakwaan, angka tersebut menyusut drastis menjadi Rp285,1 triliun. Perubahan signifikan ini memicu kekhawatiran akan transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan kasus korupsi tersebut.
Perbedaan Mencolok Angka Kerugian Negara
Awal Penyelidikan vs Surat Dakwaan
* **Awal Penyelidikan:** Kejagung menyebut potensi kerugian mencapai sekitar Rp968,5 triliun, bahkan bisa lebih.
* **Surat Dakwaan:** Kerugian yang disebutkan dalam surat dakwaan mencapai Rp285,1 triliun.
Abdullah menekankan bahwa perbedaan mencolok ini dapat memicu kecurigaan publik terhadap proses penegakan hukum. Ia khawatir hal ini dapat menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
“Sekarang masyarakat bertanya-tanya, mengapa selisih kerugian dari kasus korupsi Tata Kelola Minyak Pertamina yang ditangani Kejagung itu sangat besar? Jangan salahkan masyarakat apabila curiga atau berspekulasi atas hal ini,” kata Abdullah.
Pertanyaan Terkait Oplosan BBM dan Inkonsistensi Kejagung
Selain perbedaan angka kerugian, Abdullah juga menyoroti pernyataan Kejaksaan Agung yang dinilai inkonsisten terkait isu “oplosan” bahan bakar. Sebelumnya, isu ini sempat menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Kejagung kemudian menjelaskan bahwa istilah yang tepat adalah “blending” atau pencampuran komponen bahan bakar.
Abdullah menilai bahwa sikap Kejagung yang berubah-ubah ini menunjukkan kurangnya transparansi kepada publik. Pernyataan tersebut juga dinilai menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap Pertamina. Bahkan, beberapa masyarakat dilaporkan memilih mengisi bahan bakar di SPBU non-Pertamina.
“Lebih dari itu, pernyataan dari Kejagung tersebut sempat membuat masyarakat kecewa dan tidak percaya dengan Pertamina. Beberapa masyarakat bahkan sampai mengisi bahan bakarnya di SPBU selain Pertamina, ini tentu merugikan negara,” tegas Abdullah.
Harapan Terhadap Penegakan Hukum yang Profesional
Sebagai mitra kerja Kejagung, Komisi III DPR RI menyatakan dukungannya terhadap pemberantasan korupsi. Namun, Abdullah menekankan pentingnya profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas dalam penanganan kasus korupsi. Ia meminta agar Kejagung tidak hanya mengedepankan sensasi demi pemberitaan media.
“Kejagung dan aparat penegak hukum (APH) mesti profesional, transparan dan akuntabel dalam menindak kasus korupsi yang ada,” tegas Abdullah.
Ia menambahkan, “Jangan membuat masyarakat bingung, panik dan menimbulkan ketidakpercayaan yang berisiko menghadirkan kerugian baru lainnya yang tidak terkait dengan kasus korupsi yang sedang diusut.”
Abdullah mendorong Kejagung dan aparat penegak hukum untuk lebih cermat dalam mengungkap kasus korupsi ke publik. Hal ini termasuk memperhatikan detail teknis hingga substansi kasus. Ia menyarankan agar Kejagung bekerja sama dengan pihak lain seperti PPATK dan melibatkan pakar atau akademisi jika diperlukan.
“Artinya Kejagung dan APH dapat bekerja sama dengan pihak lain seperti PPATK misalnya sebelum mengumumkan kerugian dari kasus korupsi yang ditangani,” ungkap Legislator dari Dapil Jawa Tengah VI itu.
“Juga bisa berkolaborasi dengan pakar atau akademisi jika dibutuhkan untuk mendalami suatu hal teknis yang belum dimengerti,” pungkas Abduh.